KPK seakan lupa dibentuk untuk menangani kasus-kasus besar, mencegah korupsi pada sektor strategis bukan sebaliknya. KPK harus hadir untuk tujuan besar negara. Dalam naskah awal pembentukan kelembagaan KPK, para perumus undang-undang telah menetapkan tujuan KPK sebagai penegak keadilan demi tercapainya tujuan bersama bangsa. Kondisi ini berakibat tidak hanya KPK ditinggal masyarakat, bahkan  ditinggalkan pemerintah dan tidak diikutkan sebagai tim Pengarah dan Pengendali dalam 7 Desk yang dibentuk oleh Menko Polkam, termasuk Desk Pencegahan Korupsi dan Perbaikan Tata Kelola."
"ÂSaya buka artikel dengan kutipan dari tulisan kolega saya, Kasatgas V.1 Koorsup Wilayah V KPK-RI, Dian Patria. Saya sudah confirm, dan diijinkan untuk saya kutip. Sangat menarik sekali dan reliable sebagai prolog. Substansinya sendiri saya nilai relevan dengan apa yang menjadi tema tulisan saya.
Seiring dengan terpilihnya Ketua KPK yang baru yaitu Setyo Budiyanto, maka harapan untuk KPK lebih baik bertumpu. Meskipun, biasa pasti ada riak-riak ketidakpuasan dari pihak-pihak tertentu atas susunan Pimpinan KPK dan Dewas Pengawas yang terpilih. Terlepas dari ini semua, konteks tulisan ini adalah keinginan untuk merefresh kembali untuk kemudian mendorong KPK dengan nahkoda yang baru, membuka lembaran yang baru pula untuk sebuah KPK sesuai jati dirinya.
Memangnya KPK sudah jauh dari jati dirinya?
Dalam beberapa tahun terakhir ini, beberapa indikasi bisa dijadikan jawaban atas pertanyaan tersebut (mendasari riset kecil saya dari rekan kampus saat audiensi dalam talkshow atau sebagai nara sumber, dialog kecil dengan para Guru Besar ataupun Ahli, saat saya melakukan permintaan keterangan pada ahli hukum maupun saat saya fasilitasi pendampingan permintaan keterangan ahli dengan penyidik) :
Pertama, KPK seperti tidak fokus untuk mengungkap perkara-perkara korupsi yang besar. Bahkan ada kesan, bila sebuah mobil, KPK sudah disalib oleh aparat penegak hukum lainnya. Hal seperti ini nyaris tidak terjadi dalam awal-awal pembentukan KPK Â hingga satu dekade perjalananya, masih eksis dengan jati diri sebagai trigger mecanishm dalam pemberantasan korupsi. Mendengar nama KPK turun ke daerah, seolah bergetar pejabat birokrasi dan pejabat lainnya.
Kedua, KPK nyaris tidak menjadi bahan pembicaraan publik dalam keberhasilan ungkap korupsi, namun justru diperbincangkan karena skandal-skandal etik maupun hukum jajaran pegawai hingga pimpinannya. Bilapun ada pembahasan publik tadi, tidak semasif dengan kuantitas dan kualitas skandal yang menghebohkan publik, bahkan sampai menimbulkan tanda tanya : "benarkah itu terjadi di KPK?" (saya tidak menyebut perkara yang mana, saya percaya publik sudah memafhuminya, jujur saya sangat tidak nyaman bila terus berulang menyebut atau mengingat-ingatnya. Sedih).
Ketiga, KPK seperti kehilangan daya dobrak-nya. Senjata atau strategi daya dobrak berupa OTT maupun case building dengan big-fish-nya, seperti tergantikan dengan kegiatan atau kebijakan di level pimpinan yang diteruskan oleh pembuat kebijakan internal sebagai efek dari transisi regulasi kelembagaan. Meskipun dalam UU KPK yang baru, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019, KPK tetap independent dan tidak bisa dipengaruhi oleh Lembaga negara lain, dalam implementasi operasionalnya seperti belum menemukan karater baru-nya tersebut.Â
Muncul kemudian penilaian eksternal maupun publik, sifat independent tadi, hanya di atas kertas dan secara de facto belum responsive atas tuntutan profesionalisme KPK, yaitu  bisa menjawab tujuan awal pembentukan KPK , salah satunya sebagai penegak keadilan demi tercapainya tujuan bersama bangsa. Beberapa "dugaan" korupsi kakap, yang menjadi ekspektasi publik, belum terselesaikan secara tuntas.
Dari ketiga indikasi ini, dengan keterpilihan Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas yang baru, menandakan era baru, sebuah momentum baru yang tidak boleh disia-siakan. Ini sebuah amanah bangsa yang suci dan bila diabaikan, maka akan menjadi sebuah cerita kelam, di mana kembal rakyat seolah tidak bisa menerima kemanfaatan dan kehadiran negara dari salah satu peran yang dipegang oleh KPK.
Tanggung jawab berlayarnya KPK dengan nahkoda yang baru, harus tegak lurus kembali pada naskah awal pembentukan KPK, maka berlakulah Gouverner c'est prevoi-menjalankan pemerintahan dengan melihat ke depan serta menjalankan apa yang harus dilakukan.