Sepertinya korupsi yang sudah akut, bila dianalogkan sebagai sebuah penyakit, bukan hanya perlu tindakan medis yang besar dan beresiko, namun juga harus menumpu pada semangat dan harapan hidup si pasien. Ketika semangat untuk hidup tinggi, terkadang bisa menambah imun yang kuat dan mengantarkan pada kesembuhan.
Korupsi yang menjadi keprihatinan nasional, bahkan dicap sebagai enemy public, pada minggu-minggu belakangan, di sasar secara serius oleh Presiden Prabowo Subiyanto beserta Kabinet Merah Putihnya. Artikel saya sudah berulang kali mengangkat keseriusan masalah korupsi ini. Namun masih menjadi sebuah ironi, sampai dengan hari ini, masih di dengar, dilihat, dialami banyak orang, perilaku korup masih juga terjadi.
Sektor pelayanan publik misalnya pengurusan ijin ini dan itu, pengurusan ini dan itu menyangkut identitas diri, masuk sekolah atau kuliah kedinasan maupun non kedinasan dan sebagainya yang ujung-ujungnya adalah uang yang tidak sah, pungutan liar sampai uang sogokan alias suap.
Anomali yang terjadi, sepertinya apa yang digaungkan level atas, terlepas sebenarnya tahu atau pura-pura tidak tahu atas fakta-fakta yang terjadi di lingkungan kewenangannya, situasi tadi masih dinikmati dan menjadi zona nyaman.
Masih belum hilangnya persepsi adanya tempat tugas yang basah dan yang kering, membenarkan asumsi dan anomali tadi. Zona nyaman masih diburu dan menjadi favorite para pegawai dan bisa jadi disupport oleh keluarganya. Masih banyaknya zona nyaman tadi bisa dilihat dengan gaya hedonism mereka yang sebenarnya tidak layak secara profil penghasilan sah-nya.
Untuk membiayai gaya hidupnya yang mewah, seolah menisbikan adanya ukuran moral dalam bekerja. Ia tetap selamanya bekerja dengan zona nyaman, meski dengan cara apapun. Sehingga ketika ada seruan untuk "stop korupsi", seolah bagai angin lalu, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Enjoy saja, kaki tetap melangkah, tangan menerima uang yang sejatinya bukan haknya.
Menjadikan  pribadi yang anti korupsi sebagai sebuah jati diri, sepertinya masih menjadi hal yang berat dan mustahil di negeri ini. Padahal, secara teori dan juga menjadi himbauan salah satu petinggi yang di duduk di Kabinet Merah Putih, salah satu upaya perang dalam korupsi di mulai dari sendiri.
Bisa jadi, tumpuan yang besar dalam pemberantasan korupsi, salah satunya adalah dengan gerakan amputasi kepada aparat penegak hukum dan mereka yang berada dalam core business hukum. Salah satu modus yang sering terjadi dilakukan oleh kelompok ini adalah illegal corruption, yang dari beberapa sumber pustaka saya dapatkan, pengertiannya tidak lain adalah korupsi  yang dilakukan dengan mengacaukan bahasa atau interprestasi hukum.
Pihak yang paling berpotensi  melakukan korupsi jenis ini adalah polisi, jaksa, pengacara, hakim maupun mereka yang berada dalam lingkup sistem peradilan pidana. Publik tentunya mafhum, istilah mafia peradilan, mafia hukum. Menginterprestasikan hukum demi kepentingan probadi yang berujung adanya fee, menjadi sebuah pengkhianatan terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri dan menjadi sebuah perilaku korup yang wajib dihukum berat.
Dengan menginterprestasikan hukum sesuai kepentingan, perkara akan menjadi sumir, bahkan absurd. Namun karena dikelola oleh "mafia" maka, seolah menjadi sebuah pembuktian yang dipermukaan nampak wajar, dan ketika dieksaminasi, akan terlihat yang sesungguhnya. Ini bisa terjadi pada semua tingkatan proses hukum.