Dikutip dari kendariinfo.com, Isu permintaan uang damai sebesar Rp50 juta dalam kasus dugaan penganiayaan Supriyani, guru honorer di Desa Wonua Raya, Kecamatan Baito, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), terhadap siswanya berinisial D (6) menjadi perhatian publik.
Dalam pesan berantai yang tersebar di sejumlah grup WhatsApp, orang tua D, Aipda Wibowo Hasyim dan Nurfitriana, dituduh meminta uang Rp50 juta kepada Supriyani. Tujuannya agar kasus Supriyani dan D diselesaikan secara kekeluargaan, sehingga tidak berlanjut hingga ke meja hijau. Meskipun, hal ini dibantah oleh Aipda Wibowo.
Untuk lebih menjernihkan isu tersebut, alangkah bijaksananya perlu ada pemeriksaan lebih lanjut dari internal Kepolisian setempat. Hal ini bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, sehingga bisa membersihkan nama pribadi maupun institusi Polri. Terlebih, masih seperti yang diberitakan kendariinfo.com, Kapolres Konsel, AKBP Febry Sam, menuturkan sejak proses penyelidikan, penyidikan, penetapan tersangka, pelimpahan berkas, hingga penahanan Kejari Konsel, pengungkapan kasus Supriyani dilakukan secara transparan.
Aspek transparansi ini akan lebih menambah trust (kepercayaan) pada kinerja kepolisian, termasuk tentunya terkait isu Rp50 juta tadi. Sebab, terkait dengan kebijakan Kapolri dalam penerapan restorative justice, sangat rentan dan potensi adanya uang penyelesaian perkara, baik uang yang akan diterima oleh korban sebagai bentuk kompensasi ataupun uang yang mengalir ke oknum-oknum yang merasa "berperan" dalam penyelesaian perkara melalui restorative justice tadi.
Sangat tidak dibenarkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian perkara melalui Restorative Justice menerima "fee" dari pihak manapun. Data yang bersumber dari medcom.id menyebutkan, Polri menyelesaikan 18.175 perkara melalui mekanisme keadilan restorative atau Restorative Justice (RJ) sepanjang tahun 2023. Angka penyelesaian perkara dengan metode RJ meningkat di tahun sebelumnya yaitu 15.809 perkara.
Kapolri Listyo Sigit Prabowo menyebutkan RJ akan terus ditingkatkan sehingga dapat menyelesaikan permasalahan melalui perdamaian guna memenuhi rasa keadilan semua pihak dan menekankan pada pemulihan Kembali pada keadaan semula.
Sebagaimana menjadi teori yang disampaikan Gustav Radbruch yang mashur ada tiga nilai dasar hukum yang meliputi keadilan (filosofis), kepastian hukum (yuridis) dan kemanfaatan bagi masyarakat (sosiologis).
Hal ini mengajarkan dan sepertinya sudah menjadi pemahaman kolektif, bahwa dalam proses hukum, tidak hanya mengejar "siapa yang salah" harus dihukum, namun ada juga nilai yang sangat perlu untuk dipertimbangkan yaitu kemanfaatannya bagi masyarakat. Dengan semangat seperti ini, Polri sebagai garda terdepan dalam penanganan proses pidana, pada titik tertentu memang perlu menempuh mekanisme RJ pada tindak pidana tertentu, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.
Dalam Peraturan Kapolri ini diatur tindak pidana mana saja yang bisa diselesaikan melalui mekanisme RJ, yaitu : tindak pidana yang tidak menimbulkan keresahan dan atau penolakan dari Masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, tidak berpotensi memecah belah bangsa, tidak radikalisme dan separistisme, bukan pelaku pengulangan tindak pidana (residivis) dan bukan tidak pidana terorisme.
Jadi tidak semua tindak pidana bisa dilakukan penyelesaian mekanisme Restorative Justive, meskipun kedua belah pihak ada kesepakatan untuk berdamai dan pihak yang dirugikan sudah diberikan ganti rugi atau kompensasi. Hal ini perlu menjadi edukasi bagi masyarakat luas, agar jangan muncul anggapan atau persepsi, setiap perkara bisa diselesaikan melalui forum Restorative Justice.