Indonesia Police Watch (IPW) melaporkan Ganjar Pranowo dan eks Direktur Utama Bank Jateng berinisial S ke KPK. Ketua IPW Sugeng Teguh Santoso mengatakan, Ganjar dan S dilaporkan atas dugaan penerimaan gratifikasi dan atau suap berupa cashback dari perusahaan asuransi. "IPW melaporkan adanya dugaan penerimaan gratifikasi dan atau suap yang diterima oleh Direksi Bank Jateng dari perusahaan-perusahaan asuransi," kata Sugeng saat dikonfirmasi, Selasa. Sugeng mengatakan, perusahaan asuransi itu memberikan pertanggungan jaminan kredit kepada kreditur Bank Jateng yang dipahami sebagai cashback. Adapun nilai dugaan gratifikasi atau suap itu mencapai lebih dari Rp 100 miliar.
Pertanyaan publik yang mengiringi pelaporan tersebut adalah : Apakah pelaporan tersebut sebagai impact atas sikap Ganjar yang pascacoblosan pemilu menyuarakan ihwal hak angket?Apakah Komisi Pemberantasan Korupsi berada di track tidak murni penegakan hukum atau ada pesanan dalam merespon laporan tersebut?
Kedua pertanyaan tersebut langsung saya jawab dengan satu kata : tidak. Artinya laporan tersebut tidak sebagai impact masalah angket, tidak ada korelasinya bahkan. KPK juga tidak ada pesanan dalam memproses laporan IPW tersebut. Bagaimana analisisnya :
Pertama, siapapun orangnya bisa menjadi pelapor atas dugaan tindak pidana korupsi. IPW sebagai Lembaga, bukan kali ini saja melaporkan dugaan korupsi maupun perkara hukum lainnya dengan skala nasional. Salah satunya adalah di tahun 2023 lalu IPW melaporkan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham), EOSH ke KPK terkait penerimaan uang Rp7 miliar oleh asisten pribadi EOSH.
Tentu, IPW di bawah Teguh Sugeng Santoso yang juga seorang pengacara tersebut, tidak sembarangan dalam laporan. Ia sangat paham, bagaimana kontruksi sebuah perkara, anasir pasal dan elemen pembuktian. Sehingga, setidaknya, IPW melangkah sudah membekali diri dengan bukti-bukti yang dimiliki. Meskipun sebagaimana pemberitaan Teguh ini merupakan kader salah satu parpol.
Kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti laporan secara profesional. Diawali dengan menelaah materi laporan. Bila dalam tahap awal ini lolos, maka tahapan berikutnya adalah proses penyelidikan. Dalam proses penyelidikan, sasaran yang dituju dalam bahasa umum adalah memastikan bahwa substansi laporan sudah memuat bukti bahwa substansi tadi merupakan ranah tindak pidana korupsi. Sudah terlihat anasir-anasir perbuatannya, detail dan kontruksi unsur korupsinya. Sehingga lolos dari tahapan ini, masuk pada ranah penyidikan.
Berdasarkan SOP dalam tahapan tadi, sangat tidak mungkin masuknya intervensi pihak tertentu. Semua berjalan transparan dan melibatkan banyak pihak, termasuk fungsi pengawasan.Â
Ketiga, berdasarkan fakta empiris, belum pernah ada bentuk intervensi dari pihak rezim yang berkuasa atau kekuasaan negara manapun yang berhasil mengintervensi sebuah perkara yang ditangani oleh KPK. Bilapun sempat ada isu-isu ada pihak-pihak tertentu, yang ingin mengintervensi perkara, itu hanya sebatas isu dan belum terbuktikan. Yang ada justru perkara yang konon dimintakan untuk bisa dihentikan, sekarang dalam posisi sudah in kracht van gewijsde.
Sebagaimana diberitakan Kompas.com, perhatian  publik yang belakangan ini sangat menonjol adalah auman mantan Ketua KPK, Agus Rahardjo. Orang yang dikenal lurus ini membuat kejutan dengan pengakuannya bahwa ia pernah dimarahi oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena tidak mau menghentikan penyidikan kasus Setya Novanto terkait kasus korupsi e-KTP. Baca juga: Agus Rahardjo Ungkap Saat Jokowi Marah, Minta KPK Setop Kasus E-KTP Setya Novanto Pihak Istana membantah bahwa pertemuan yang dimaksudkan oleh Agus tidak pernah tercatat.