Artikel ini saya buka dengan prolog berita : Pascahari pencoblosan, Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Lampung siap menampung Calon Anggota Legislatif (Caleg) yang depresi atau stress gara-gara kalah dalam pemilu yang digelar Rabu (17/4). Untuk rawat inap, RSJ sediakan sedikitnya 40 sampai 115 tempat tidur untuk perawatan.Â
Direktur RSJ Lapung Ansyori dan jajaran telah memeriksa ruang dan tempat tidur perawatan pasien dari kalangan caleg depresi yang dikarenakan kalah dalam pemilu. "Sudah kami siapkan ruangan dan tempat tidur khusus," dikutip dari Republika.co.id
Demikian salah satu pemberitaan di media terkait dengan "kesiapan" Rumah Sakit Jiwa menerima pasien pascacablosan pemilu. Tentu, ini ada dasarnya, bukan asal. Persiapan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) diberbagai daerah, dilakukan mendasari pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, sehingga tidak ingin ada pasien dadakan yang tidak tertampung atau teratasi. Mengapa ini terjadi?
Sejatinya, hidup itu nyaman, ketika dengan apa yang kita punya, kita menikmatinya. Sebagai penyelenggara negara, sebagai pegawai negeri atau swasta ataupun siapapun kita. Hidup tidak ngegas, terlalu ambisi-terlalu ngoyo, sehingga seolah membenarkan semangat hidup apa adanya.
Meski pada sisi lain, tentu yang namanya ihtiyar, untuk berusaha hidup lebih baik, menjadi sebuah tuntutan relegi yang baik untuk dilaksanakan. Ini tidak mematikan semangat untuk berusaha, membuka kreatifitas hingga mengembangkan potensi diri. Ujung-ujungnya tentu masih dalam frame tidak ngegas tadi. Konteks yang ingin dibangun adalah tidak menjadikan hidup lepas kendali, meraih apapun yang kita inginkan, dengan cara apapun.
Ini yang menyesatkan dan tidak boleh terjadi. Sebab, bila dilakukan, maka yang terjadi seolah membenarkan segala cara, apapun di tempuh. Pada konteks pemilu saat ini, menghalalkan segala cara, akan berimbas pada banyak aspek negative, bahkan dalam joke-joke tertentu sudah mulai muncul kaitan para caleg dan Rumah Sakit Jiwa. Apa maksudnya? Dari joke tadi, ternarasikan, kelak pascapemilu, RSJ akan dipenuhi oleh mereka-mereka yang terlalu ngegas dengan ambisinya, namun tidak tercapai keinginannya tersebut.
Kisah caleg yang pascapemilu lupa berbusana jalan-jalan, atau minggat, kabur karena sudah menjual aset-aset berharganya, namun capaia tertingginya dalam pemilu hanya sebatas Namanya mucul di setiap sudut jalan, terpampang di pohon atau tempat-tempat tertentu, namun blank alias zonk di kartu suara. Perolehannya tidak sebanding dengan jerih payahnya yang telah habis-habisan.
Dalam bahasa latin, dikenal istilah finis iustificat medium, kurang lebihnya memaknakan menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Istilah ini bila dipraktikan, sangat besar kemungkinannya bila benar telah tercapai apa yang menjadi tujuan, ia akan terjerembab dalam kubangan abuse of power atau penyalahgunaan wewenang. Ini korelasi yang sangat mudah dijelaskan : karena banyak modal yang sudah ia keluarkan, maka ia berusaha mengembalilan modal tadi.
Sudah banyak tergambarkan, bagaimana riuh rendahnya pesta demokrasi. Tanggal 14 Pebruari yang tinggal beberapa hari, dipastikan akan menyisakan kisah-kisah "tragis dan ironis" tadi. Akan muncul penghuni RSJ yang baru, debt collector yang banyak menyambangi rumah eks peserta pemilu, aset-aset yang disita bank dan pemandangan sejenisnya yang menggambarkan efek dari ngegas untuk meraih tujuan tadi.
Seperti yang sudah-sudah, seolah bukan menjadi sebuah pembelajaran, tetap saja banyak korban berjatuhan. Para eks calon, yang butuh beberapa bulan untuk kembali move-on dari keterpurukan yang sangat mungkin berujung dengan Tindakan konyol dengan mengakhiri hidup, Jadi, punya ambisi, harus seimbang dengan kemampuan yang dimiliki. Bukan karena dorongan orang lain atau rayuan "tim sukses" yang sejatinya hanya ingin "numpang hidup" selama pra pemilu.