Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian. (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Siasat Hadapi Harta yang Disembunyikan Koruptor

15 November 2023   10:11 Diperbarui: 16 November 2023   01:57 1422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kegalauan dan keresahan atas korupsi yang terjadi di negeri ini, seolah belum berada pada titik ujungnya. Masih saja kasus korupsi menjadi hiasan media dan bahkan muncul skeptisme dalam satire: yang ketangkap kasus korupsi, hanya apes saja, yang lainnya masih aman-aman saja.

Seolah fenomena Gunung es benar adanya. Mereka yang tertangkap tergambar sebagai puncak Gunung, sedang yang dibawah permukaan lebih besar dan tidak nampak.

Salah satu pejabat yang sampai hari ini masih getol untuk memerangi korupsi yaitu Mahfud MD, Menkopolhukam. Ide-idenya dalam pemberantasan korupsi yang masih ditunggu realisasinya, karena melibatkan legislator mengesahkannya adalah UU Perampasan Aset. 

Terkini, dalam sebuah forum, yang saya kutip dari Kompas.com menyebutkan pentingnya pembuktian terbalik dibuat undang-undang tersendiri.

Menurut Mahfud, masih ada celah bagi penjabat untuk tidak melaporkan harta kekayaannya secara jujur meskipun sudah diatur kewajiban melaporkan hartai melalui Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).

Masuk akal dan sangat logis keinginan Mahfud MD tersebut, sebab menjadi fakta yang tidak terabaikan bahwa meskipun pembuktian terbalik dalam hukum positif kita sudah tertuang di dalam sebuah pasal UU Tindak Pidana Korupsi, namun dinilai kurang efektif. Dengan spesifikasi dan kekhususan UU tersendiri, pembuktian terbalik bisa menjadi momok para koruptor.

Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:

1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.

2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.

3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.

4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.

Belum efektifnya Pasal 37 tersebut, dikarenakan masih menjadi "kebiasaan" dalam persidangan, pihak Jaksa Penuntut Umum-lah yang membuktikan terkait hubungan tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan aset yang dimiliki oleh koruptor. 

Dengan membuat secara khusus atau lex specialis, dibuat sedemikian rupa bahwa ketika koruptor duduk di kursi pemeriksaan persidangan, ialah yang wajib membuktikan aset-aset yang ia miliki diperoleh secara sah. Bila tidak mampu ia buktikan, tinggal dilakukan penyitaan atau sebagai pengganti.

Undang-undang tersendiri tadi sangat penting dalam menguatkan upaya pemiskinan koruptor, setelah upaya pemerintah mengajukan Undang-Undang Perampasan Aset yang hingga sekarang belum juga di sahkan. 

Setidaknya, bila ada political will para stakeholder, Undang-Undang Perampasan Aset ditambah dengan Undang-Undang Pembuktian Terbalik, akan menjadi senjata Pamungkas untuk memerangi korupsi di negeri ini.

Salah satu parameter perlunya Undang-Undang Pembuktian Terbalik dibuat tersendiri, mendasar data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara sangatlah tinggi, hampir mendekati 100% Penyelenggara Negara yang diwajibkan, melaporkannya.

Namun masalahnya, dalam pembuatan laporan tersebut, dinilai "masih ngawur", asal mengisi untuk menggugurkan kewajiban saja.

Kita lihat data dari KPK sebagai berikut. Jumlah Wajib LHKPN Tahun Lapor 2021 per 31 Desember 2022 adalah 382.020 orang, dengan jumlah yang telah menyampaikan LHKPN sebanyak 375.760 orang sehingga tingkat pelaporan LHKPN secara nasional sampai dengan tanggal tersebut sebesar 98.36%. 

Untuk status pelaporan atas LHKPN yang diterima oleh KPK setelah dilakukan verifikasi administratif oleh Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan LHKPN, jumlah yang telah dinyatakan lengkap sebanyak 364,713 orang sehingga tingkat kepatuhan LHKPN secara nasional sampai dengan tanggal tersebut sebesar 95.47%, dikutip dari kpk.go.id

Dengan melihat data tersebut, tersurat hampir 100% para pejabat, penyelenggara negara yang diwajibkan melaporkan harta kekayaannya benar-benar melakukan kewajibannya. Ini hal yang menggembirakan atas kepatuhan tersebut. Namun yang menjadi permasalahan adalah benarkah dalam pengisian harta kekayaan tersebut sesuai fakta?

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengungkap banyak pejabat yang melaporkan harta kekayaannya melalui Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) tak sesuai profil. Dia mengatakan ada LHKPN yang terlalu tinggi, ada pula yang terlalu rendah. 

"Ini kebetulan ada satu peristiwa, sebetulnya banyak pejabat kita yang melaporkan harta kekayaannya kalau kita lihat profilnya nggak match (cocok)," ujar Alexander kepada wartawan, Selasa (28/2/2023).

"Kalau kita lihat pekerjaan yang bersangkutan selaku penyelenggara negara atau sebagai ASN, itu nggak cocok," kata seperti dikutip dari Detik.com

Bagi awam, seolah sulit memercayai, mengapa harus menutup-nutupi harta kekayaannya. Namun bagi koruptor, adalah hal yang sangat sulit untuk menulis harta kekayaannya, karena jelas-jelas harta yang sudah menjadi aset atas nama dirinya ataupun nama orang lain, akan dengan mudah terendus jejaknya.

Maka, tidak heran bila aset sesungguhnya mencapai miliaran, namun tertulis di laporan LKHPN "hanya" ratusan juta saja.

Sebagaimana disampaikan Mahfud MD tadi, adanya celah ketidakjujuran dalam pengisian LHKPN menjadi variable yang signifikan atas urgensi Undang-Undang Pembuktian Terbalik. 

Sebagai ius constituendum, atau hukum yang dicita-citakan, Undang-Undang Pembuktian Terbalik akan mempersempit ruang dan celah kecurangan dalam menyembunyikan harta kekayaan. Sangat mudah akhirnya, tujuan untuk memiskinkan koruptor terpenuhi.

Kapan ini semua terealisasikan?

Salam Anti Korupsi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun