Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis tentang : - Korupsi dan Bunga Rampai (2022) - Korupsi (2023) - Hukum dan Korupsi (22 Oktober 2024 sd. sekarang) - Sebelum aktif di Kompasiana (2022), menulis di Jawa Pos, Suara Merdeka, Tribun dan Beberapa Media Internal Kepolisian (Masuk Dalam Peringkat #50 Besar dari 4.718.154 Kompasianer Tahun 2023)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sang Profesor Terjebak Gurita Korupsi

10 November 2023   10:43 Diperbarui: 10 November 2023   10:56 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Foto Dokumen Pribadi

Tidak perlu saya menyebut Profesor atau Guru Besar mana yang dalam beberapa tahun terakhir ini menambah daftar kaum cendekiawan, khususnya Guru Besar yang masuk dalam "perangkap gurita korupsi". Ada yang dari kalangan anggota Kabinet,Rektor, Dosen dan jabatan terhormat lainnya. Para begawan yang dikenal publik dengan pencitraan seorang yang pintar, menguasai sangat dalam sebuah ilmu, tentunya juga mempunyai pemikiran dan kebijaksanaan dalam menyikapi sebuah permasalahan.

Proses panjang untuk mendapatkan anugerah sebagai seorang profesor. Publik akan mengakui tingkat keilmuannya yang di atas rata-rata orang kebanyakan. Sehingga menjadi sebuah pertanyaan besar ketika kemaren KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengumumkan telah menetapkan salah satu profesor negeri ini, yang juga aktif duduk di Kabinet Pemerintahan Presiden Joko Widodo sebagai salah satu tersangka dari 3 tersangka lainnya pada kasus suap dan Gratifikasi.

Saya kutip beritanya dari kompas.com : Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membenarkan telah menetapkan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy sebagai tersangka. Eddy dijerat dengan pasal dugaan penerimaan suap dan gratifikasi. "Pada penetapan tersangka Wamenkumham, benar, itu sudah kami tanda tangani sekitar dua minggu yang lalu," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (9/10/2023). Alex mengatakan, pihaknya telah menandatangani Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) untuk empat orang tersangka. Menurut Alex, sebanyak tiga di antaranya diduga menerima suap dan gratifikasi. Sementara satu pihak lainnya merupakan terduga pemberi suap. "Dari pihak penerima tiga pemberi satu," ujar Alex. Perkara dugaan korupsi yang menjerat Eddy ini berawal dari laporan Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng teguh Santoso terkait dugaan penerimaan gratifikasi Rp 7 miliar pada 14 Maret 2023. Namun, dalam perjalanannya KPK menemukan meeting of mind atau titik temu yang menjadi kesepakatan kedua pihak. Meeting of mind itu menjadi latar belakang aliran dana ke Eddy Hiariej.

Dengan tetap menjunjung tinggi asas presumption of innoncence atau praduga tak bersalah, penetapan tersangka oleh KPK sudah tentu melalui proses pembuktian, sehingga didapat minimal 2 alat bukti. Akan sangat ceroboh, bila menetapkan seseorang, terlebih sekelas Eddy, yang merupakan Gugur Besar Ilmu Hukum Pidana. Substansi perkara biar tetap menggelinding, publik memantaunya, bagaimana proses hukum ini berjalan.

Menjadi pertanyaan bagi kita semua? Adakah relevansi atau hubungan antara tingkat pendidikan seseorang dengan nilai integritas moral? Ini kita asumsikan bahwa perilaku korup, bagian dari permasalahan integritas dan moral seseorang. Logika yang menjadi hipotesisnya adalah : apakah seseorang dengan pendidikan yang tinggi menjamin mempunyai integritas dan moral yang baik, sehingga sangat jauh potensi melakukan korupsi?

Pertanyaan ini terwakili pada jawaban di sebuah artikel yang ditulis oleh Saifur Rohman, 26 Agustus 2022 dalam di Kompas dengan judul. " Profesor Doktor Koruptor", salah satu kalimat dalam artikel tersebut : tidak ada korelasi positif antara gelar akademik dan integritas moral seseorang. Tidak ada pendidikan integritas ilmuwan yang harus ditempuh, sama seperti dalam pencapaian gelar pendidikan.

Sepertinya, saya mengamini pendapat tersebut. Ketidak adanya parameter yang bisa dijadikan ukuran standar nilai integritas dan moralitas serta relevansinya dengan gelar akademik menjadi logis. Untuk menjadi seorang guru besar, ada tahapan pendidikan yang harus ditempuh ditambah persyaratan tertentu, jadilah kemudian seseorang bergelar profesor.

Namun untuk menjadi orang yang dengan integritas serta bermoral baik, ditempuh dengan non formal. Jalur ini muncul dari diri pribadi dan diakui oleh orang lain yang tidak pernah merasakan atau melihat perilaku menyimpang. Yang ada dan muncul adalah nilai manfaat dan aura positif dalam setiap perilakunya baik untuk urusan pribadi maupun masyarakat sekitarnya. Jadi tidak ada sekolah-nya, tidak ada ujian-nya, untuk menjadi seseorang dengan integritas dan moral yang baik.

Sangat mungkin, secara formal seseorang tidak tinggi-tinggi amat menempuh pendidikan, namun mempunyai integritas dan moral yang baik, akhlak-nya baik, aura positifnya sangat baik di rasakan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun