Surat Panggilan untuk dimintai keterangan, entah sebagai saksi apalagi sebagai tersangka dalam sebuah perkara tindak pidana, merupakan sebuah pengalaman yang "kurang menyenangkan." Itu kira-kira yang bisa saya simpulkan dari hasil pembicaraan, komentar ataupun pendapat terkait dengan Surat Panggilan.
MendapatSebagai salah satu cara untuk mengumpulkan keterangan dan menjadikannya sebagai salah satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, hasil keterangan tadi berupa Berita Acara Pemeriksaan. Bagi orang yang belum pernah sama sekali mendapat surat panggilan dan berurusan dengan hukum, akan menjadi sebuah beban psikologis dan kecemasan dalam menghadapinya. Ada yang terang-terangan merasa takut, ragu atau berusaha untuk menghindari momentum tersebut dengan beribu alasan.
Ini wajar, terbayang sudah ketika di depan penyidik, ia akan diinterograsi. Takutnya, bila ia tidak bisa menjawab atau jawabannya tidak terarah, atau bisa jadi sama sekali kata-kata atau kalimatnya tidak bisa keluar dari mulutnya? Dalam bahasa ekstrimnya, bisa jadi karena ia gagap, ia ragu-ragu menjawab, akan mendapat tekanan, bentakan dari investigator-nya.
Itu semua adalah hasil internalisasi proses pemeriksaan atau permintaan keterangan yang sudah terbentuk dan menjadi image-secara umum, bahwa proses permintaan keterangan akan mendapatkan suasana yang tidak nyaman. Benarkah? Tidak semua apa yang terbayang tadi benar adanya. Konsep permintaan keterangan oleh penyidik sudah berubah dari paradigma lama ke paradigma baru.
Paradigma yang saya maksudkan adalah, cara-cara interograsi dan penggalian keterangan dengan tekanan, kekerasan, nada suara tinggi, tidak memperhatikan hak-hak individu selama proses inestigasi berlangsung, menjadi role model era baheula atau jaman dulu. Sebelum era tahun 1981 atau sebelum lahirnya Hukum Acara Pidana yang salah satu asasnya adalah memberikan penghormatan hak asasi manusia, maka cara-cara tadi "seolah dibenarkan" karena out put-nya adalah mengejar pengakuan.
Meski yang diperiksa adalah saksi, tetap cara-cara "kurang harmonis" tadi terbawa-bawa, karena sangat dimungkinkan juga saksi tadi adalah tersangka yang belum terungkap data awalnya. Sehingga alur pemeriksaan berada dalam tehnik dan metode yang sama.
Apakah karena hal ini juga yang membuat seorang publik figure, yang dikenal sebagai pribadi yang tegas, berani dan ketokohannya di junjung tinggi di masyarakat tetap merasa "down" mentalnya bila mendapat surat panggilan tadi? Dari sikap dan tanggapannya dalam menghadapi masalah ini, "sejatinya" bisa dilihat apakah kapasitas pemanggilan sebagai saksi akan berhenti sebagai saksi atau akan ditingkatkan sebagai tersangka sudah bisa dibaca. Apa tanda-tandanya?
Pertama, ia akan berdalih, mengulur waktu dengan seribu alasan. Ini dilakukan untuk "menyiapkan" alibi atau dalil-dalil yang menurutnya bisa mematahkan apa yang akan dipertanyakan penyidik. Ia sudah bisa menduga arah pertanyaan yang akan diberikan padanya, jadi butuh waktu untuk merangkai-rangkai narasi yang sesuai dengan harapannya.
Kedua, ia sangat menyadari bahwa tidak ada kejahatan yang sempurna, maka ia berusaha mengeliminir dan kesan ia benar-benar melakukan kejahatan dengan "kesengajaan". Minimal, ada upaya untuk menghilangkan apa yang menjadi syarat dipidanya seseorang, yaitu unsur perbuatan dan sikap batin. Jadi, upayanya adalah untuk membuat dalil yang bisa meniadakan kedua unsur tadi.
Ketiga, sampai padanya ada titik kepasrahan, bahwa sejatinya ia sudah tidak lagi bisa beradu argumentasi, menyampaikan pematahan dalili-dalil pembelaan atas dirinya. Jadi, mengundur waktu hanya sebagai upaya penenangan diri untuk menghadapi situasi yang sudah ia bayangkan, bila dengan keterangan yang akan disampaikan, akan mengantarkannya sebagai seorang tersangka. Yang dilakukan pada tahap ini, terkadang ia melakukan perbuatan-perbuatan, membentuk opini, meminta kolega ikut membelanya atau melalui pihak lain, agar bisa membantunya, memosisikan ia sebagai pihak yang perlu dibela karena terdholimi.
Keempat, puncak dari kegalauan diri tadi, ia memilih untuk melarikan diri dan tidak perduli walau akhirnya penyidik akan memberinya status Daftar Pencarian Orang (DPO) alias wanted.