Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bukan Sekedar Ngadem di Masjid KPK

20 Oktober 2023   08:45 Diperbarui: 20 Oktober 2023   09:32 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumen pribadi

Ini hari Jumat, maka saya ingin nulis artikel yang lebih bernarasi relegi, sedikit beda dari biasanya. Di Gedung Merah Putih yang menjadi Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang terletak di Jalan Kuningan Persada, Setiabudi Jakarta Selatan, pada lantai 3 tergelar sajadah merah, di dalam masjid Al-Iklas namanya. Pada sajadah merah tadi, pegawai KPK saat waktu solat tiba, berduyun membuat saf solat di sana.

Setelah solat dhuhur, pada hari Selasa dan Kamis atau jadwal menyesuaikan penceramah, diadakan tauziyah sekitar satu jam. Kajian atau materi para penceramah, bersifat umum, tidak melulu pada kajian tertentu. Penceramahnyapun ada yang serius, ada selipan humor-nya, biasa-biasa saja atau  sudah kondang seperti Aa Gym, Ustad Maulana, Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA Imam Masjid Istiqlal dan deretan dai lainnya.

Satu hal yang saya catat di sini adalah para dai tadi, merasa senang berada di tengah-tengah "pemberantas-korupsi" di negeri ini. Sehingga beliau-beliau pasti berseloroh : " Ingatkan waktu ya, bila sudah jam 13.00, apapun yang terjadi saya sudah harus mengakhiri pembicaraan saya. Saya takut korupsi di sini. Korupsi waktu juga korupsi kan?" Begitu, dengan nada bercanda. Tapi serius pada pelaksanannya. Para penceramah tadi benar-benar tidak melebihi waktu "break" pegawai KPK dalam isoma di tengah jam kerjanya.

Sedemikian hormat pada waktu. Bilapun para penceramah, yang nota bene begitu paham, kondisi psikologis dan kebatinan pegawai KPK dalam perilaku keseharian, bagaimana dengan para pegawai KPK itu sendiri? Apakah itu bukan sebuah sentilan? Sebuah teguran dari pihak luar, bahwa memang sewajibnya perilaku para pemberantas korupsi ya harus anti korupsi. Bagaimana kata dunia bila pegawai KPK (pegawai KPK itu, ya dari level bawah hingga yang pucuk pimpinan) terserempet atau terlibat dalam perkara korupsi?

Ini yang menyedihkan tentunya. Manusia memang tidak sempurna, penuh kesalahan. Namun kalau sudah mengetahui bahwa kesalahan yang "sengaja" dilakukan adalah terkait dengan kewenangan dan kekuasaannya, apakah ada alasan pemaaf? Dalam konteks hukum positif negeri ini, jelas, orang yang mengetahui hukum, berprofesi dalam bidang penegakan hukum namun melakukan tindak pidana, hukumannya harus diperberat.

Namun masalahnya, bukan sekedar hukuman di perberat. Bagi pegawai KPK, lebih-lebih pejabatnya, (semoga tidak ada, bilapun ada dan sedang berproses sebagaimana yang menjadi salah satu isu nasional minggu-minggu ini, hanya sebagai mimpi buruk di siang hari) akan menjadi preseden buruk. Sebab bila itu bukan sebagai mimpi di siang bolong, tragis-nya nanti  bila ditulis dalam sebuah cerita fiksi akan menggunakan judul misalnya seperti ini : Robohnya Simbol Anti Korupsi atau Melelehnya Lilin Penerang Korupsi dan sejenisnya.

Sebuah profesi harus terjaga dari nilai-nilai yang tidak luntur atas filosofi yang diemban dalam visi misi profesi tadi. Inilah beratnya, maka siapapun yang sudah kontrak di sana, harus komitmen untuk bisa menjaga diri dari hal-hal yang kontraproduktif atas filosofinya tadi. 

Kembali ke gelaran sajadah merah masjid Al-Iklas KPK. Bukan sekedar ngadem karena ruangan ber AC sejuk-dingin-nyaman. Di sana, telinga acapkali mendengar rangkaian dan narasi sejuk dari para penceramah. Kesejukan itu tentu tidak mengesampingkan tujuan takmir masjid untuk berkontribusi dan menjaga serta menyirami rohani jamaah-nya, yang nota benenya para pegawai KPK, bisa menjadi menjadi warning, peringat atas tanda-tanda ketika kaki menapak jalan yang mulai menyimpang. Itu sisi baiknya. 

Salah satu rangkaian narasi tauziyah yang selalu teringat di telinga saya (sayang saya lupa nama penceramahnya saat) bahwa hidup untuk saling mengingatkan, bahwa tidak ada keabadian di dunia ini. Jangan buat kerasan hidup di dunia, nanti akan membuat kita terlena, karena hakikatnya, sejatinya rumah kita bukan di dunia ini. Hidup abadi adalah hidup setelah kematian. Jadi, membawa bekal untuk kehidupan yang kekal, berupa amal kebaikan adalah ciri orang yang cerdas.

Begitu yang selalu terpatri dalam diri saya. Semoga ini menjadi patrian dalam hati kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun