Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) langsung menahan Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Galaila Karen Kardinah atau Karen Agustiawan selama 20 hari ke depan usai ditetapkan sebagai tersangka. Adapun Karen menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair/Liquefied Natural Gas (LNG) di PT Pertamina tahun 2011-2021. Perbuatan Karen mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar 140 juta dollar AS atau setara dengan Rp 2,1 triliun. Karen disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, dikutip dari kompas.com.
Saya tidak tahu mengapa ketika seseorang sudah dijadikan tersangka oleh aparat penegak hukum, dalam konteks ini oleh KPK, sesaat setelah dikenakan rompi tahanan dan muncul di depan para awak pers, masih sempat tersenyum. Hampir semua para tersangka korupsi melakukan gestur tenang, bahkan ada yang tersenyum dan melambai-lambaikan tangan sehingga borgol yang melingkar di pergelangan tangan ikut terangkat.
Negara kita memang menganut asas presumption on innocence sehingga memperlakukan seorang tersangka tetap sebagai pihak yang tidak bersalah sampai pengadilan memutuskan ia bersalah. Bisa jadi inilah yang masih menyemangati diri tersangka bahwa “ia tetap merasa belum bersalah”. Bisa jadi, ada beberapa hal yang menguat dalam dirinya sebagai berikut:
Pertama, ia meyakini bahwa dalil sangkaan yang disangkakan padanya tidak terbukti. Ada sejuta alasan dengan bukti yang ia miliki untuk dijadikan alibi, ada penasihat hukum andal yang siap di belakangnya, serta “dukungan” beberapa pihak yang ikut “mempromosikan” bahwa ia pihak yang terzalimi, pihak yang dikorbankan dan sebagainya.
Kedua, bilapun kelak diputus bersalah, ia yakin tidak akan dijatuhi hukuman maksimal. Akan ia lawan setiap putusan dengan upaya hukum hingga upaya hukum paling akhir. Ia yakini, upaya ini akan bisa mengurangi hukumannya. Syukur-syukur diputus bebas ujung-ujungnya.
Ketiga, ia yakin pula, ia tidak sampai dimiskinkan. Hartanya masih bisa disimpan, tanpa terendus dan tersentuh sehingga tujuh sampai sepuluh keturunannya masih bisa menikmati. Hitungannya, ia masih bisa menikmati itu semua selepas dari tahanan nantinya. Ia tidak takut dikucilkan secara sosial karena faktanya, mantan tahanan korupsi tetap bisa menjadi populer, dihormati, dan mempunyai pendukung untuk mendirikan partai.
Keempat, bilapun harus menjalani hukuman, tetap santai saja. Fasilitas yang nyaman dan apa yang diinginkan masih bisa dilaksanakan. Ia berkaca dari beberapa tahanan korupsi yang masih bisa pergi jalan-jalan, bertemu dengan kolega langsung atau lewat telepon, bila sakit minta berobat pada RS yang ia kehendaki atau dokter spesialis yang ia kehendaki.
Jadi apa yang membuat takut dan sedih?
Mungkin ini yang berkecamuk pada tahanan korupsi sehingga mereka masih bisa tersenyum. Entahlah, ini sebuah ironi atau sebuah tragedi di negeri ini. Kesungguhan dan jerih payah ketika mengungkap perkara korupsi dengan kerugian Negara miliaran hingga triliunan rupiah tidaklah mudah. Semua melalui proses yang panjang dan melelahkan, menguras tenaga, pikiran, bahkan nyawa bisa terancam. Namun, pada akhirnya, dalam perjalanan memberikan efek jera pada koruptor, tetap ada celah-celah hukum atau kesempatan yang dimanfaatkan oleh tersangka hingga masih bisa tersenyum di depan publik tadi.
Mungkin, teguran Ilahi yang akan bisa menghentikan senyum itu. Ut sementem faceris ita metes-– siapa yang menanam sesuatu, dia yang akan memetik hasilnya.