Tiada persahabatan yang paling indah di dunia ini, selain persahabatan dengan pasangan yang terkasih dan tersayang, suami dan istri. Ia, awalnya bukan siapa-siapa. Orang asing dan mungkin sama sekali tidak dikenal keberadaannya, sehingga di sebuah detik, ada kesempatan bertatap mata, kemudian tumbuh benih cinta pada detik berikutnya atau di lain masa.
Sangat banyak barangkali perbedaan-perbedaan yang ada, di awalnya. Namun, seiring masa pula, perbedaan itu terkikis, melebur menjadi sebuah persesuaian. Pada Titik ini, satu pihak harus iklas dan menerima perbedaan untuk dilebur, meski di sisi lain iapun berbuat sama. Jadilah, sebuah kebersamaan yang bertumpu atas perbedaan.
Pada sebuah helaan nafas, setelah hampir lebih dari tiga puluh tahun selalu mendampingi, Sang Istri sangat memahami siapa Sang Suami-nya. Demikian Sang Suami, sangat memahami bagaimana Titik-titik lemah perempuan yang sangat ia sayangi dan ia cintai. Dari Rahim perempuan itulah telah lahir anak-anak yang menjadi buah hati mereka. Mereka, menjadi pasangan yang seolah tak pernah ada masalah. Karena, sejatinya masalah yang muncul, pasti mampu ia redam, ia konsumsikan untuk mereka berdua. Bukan untuk anak-anak, orang tua, saudara atau orang lain.
Mencurahkan kegalauan hati pada orang lain, sangatlah dihindari. Karena, bisa jadi orang lain tadi akan menjadi sumber masalah berikutnya di kemudian hari. Orang lain tadi, sangat mungkin, justru memanfaatkan celah curhatan tadi dengan "bersedia" menjadi labuhan curahan perasaan, lama-lama menjadi labuhan hati yang tersembunyi. Inilah makanya, sangat disarankan kepada pasangan yang sedang menghadapi masalah. Bilapun harus mencurahkan pada orang lain, harus orang yang tepat dan pada posisi netral, misalnya ke psikolog, konsultan masalah keluarga dan semacamnya. Bukan kepada teman sekantor lawan jenis, lebih-lebih pada mantan.
Menjaga hati, menjaga perasaan, menjaga kepercayaan, adalah kunci dari terbukanya ladang kasih sayang pasangan.
Sang Suami bekerja dalam jangkauan perjalanan hingga 5-6 jam. Durasi pertemuan sehari atau dua hari dalam satu minggu. Sudah beberapa kali lebaran terlewati, dari semasa anak masih sekolah hingga lulus kuliah dan telah mandiri dengan keluarga kecilnya. Satu kebiasaan Sang Suami, atau sebaliknya adalah ketika tetap menjaga komunikasi dengan bahasa romantika, yang tak lekang dan tak tergerus waktu.
" Saatnya tahajud, Istriku Sayang. "
Begitu bila alarm telah meandering dari HP Sang Suami. Ia bersegera menulis kata-kata tersebut, dikirim pada suaminya. Sebaliknya, bila Sang Istri yang lebih dulu terjaga, ia akan melakukan hal yang sama.
" Sudah Bangun, Suamiku Tersayang? "
Begitulah. Meski jauh kaki menginjak bumi dengan pasangan, tetap terjaga dalam sebuah keheningan di ujung malam. Ada semangat, ada gelora kasih sayang tak terperikan. Ketika wajah sudah terbasuh dengan air wudlu dan gemericik air kran sudah berlalu, sebelum berhajat dan bersmpuh pada sajadah, Sang Suami menulis lagi di WA : " Doakan aku selalu Istriku, agar bisa menggandeng tangan dan jemarimu lebih lama lagi, mengharap Rahmat-Nya selalu, agar kelak bersama di Surga-Nya. "