Mengikuti beragam narasi dan tema tulisan, opini, artikel, wacana ataupun dengan nama lain, menjelang datangnya tahun politik, tahun depan menarik untuk diikuti. Dinamika terjadi dari berbagai aspek, bergulir silih berganti.
Tahun 2024 menjadi tahun politik, karena di tahun tersebut akan terselenggara pesta demokrasi dalam bentuk pemilihan umum. Banyak kepentingan yang jelas akan muncul dalam perjalanan menuju hari H pelaksanaan maupun pascapemilu tersebut.
Karena saya tertarik pada tema besar korupsi, maka memandang dinamika yang terjadi tadi, tidak jauh-jauh dari masalah korupsi juga. Salah satunya yang mempunyai potensi menjadi trend atau kecenderungan dalam ranah korupsi adalah trading of influence atau perdagangan pengaruh.
Dikutip dari kpk.go.id, perdagangan pengaruh atau disebut juga trading of influence masuk dalam salah satu delik korupsi pada Konvensi PBB Melawan Korupsi atau United Nation Convention Against Corruption - UNCAC, tepatnya di Pasal 18 tentang klasifikasi korupsi dan penegakan hukum.
Bagaimana modus perdagangan pengaruh ini terjadi? Biasanya ada pihak-pihak yang mencoba untuk masuk atau mempengaruhi pengaruh politik untuk bisa melakukan intervensi keputusan atau sebuah kebijakan. Misalnya A (orang politik) menerima atau diminta B seorang pengusaha agar bisa membantu terbitnya sebuah regulasi atau kebijakan yang bisa menguntungkan bisnisnya. A menggerakan orang-orang partainya yang sudah duduk di parlemen dan bersentuhan dengan masalah regulasi tadi. Ujungnya-ujungnya ada pemberian fee setelah yang diminta oleh B terlaksana.
Kontruksinya mengenai persangkaan perbuatan trading of influence, dalam hukum positif kita secara spesifik belum mengaturnya, namun pasal suap dan gratifikasi bisa digunakan untuk menjerat pelaku perdagangan pengaruh ini. Tergantung dengan bagaimana modus serta perbuatannya, yang tentunya tidak bisa digeneralisir.
Dengan bahasa yang mudah untuk dipahami, perdagangan pengaruh menggunakan pola pendekatan kekuasaan untuk mempengerahui keputusan di eksekutif maupun legislative. Dari gambaran ini, seolah mirip-mirip dengan upaya lobi-lobi? Bukankah ini sesuatu yang wajar? Bila substansinya sekedar lobi, tanpa adanya janji atau pemberian sesuatu mungkin benar, namun bila ujungnya adalah pemberian atau janji-janji yang kemudian terealisasikan, maka sudah masuk ranah suap atau gratifikasi.
Sangat jelas, lahirnya regulasi atau kebijakan tadi, diawali oleh sebuah keinginan pihak tertentu dan disepakati oleh pemilik kekuasaan atas persetujuan atau lahirnya regulasi akan menjadi sebuah meeting of  mind yang menguatkan terjadinya perbuatan suap. Bila sudah demikian, dipastikan substansi dari regulasi sudah dipenuhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu dan akan menodai nilai-nilai keadilan atas sebuah kebijakan publik.Sekilas
Oleh karenanya, sangat tepat sekali apabila ada pihak-pihak yang perduli terhadap masalah ini, menjadikan salah satu item masukan yang nantinya bisa dirumuskan sebagai salah satu dalam pasal pada pembaharuan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi atau sebagai bentuk ius contituendum. Sehingga kelak akan semakin jelas, bahwa trading of influence sebagai tindak pidana.
Pada sisi lain, membahas tentang perdagangan pengaruh, juga bersingguhan dengan praktik-praktik birokrasi yang berada dalam lingkup KKN, yaitu nepotisme. Ini sudah tidak terbantah, masih berjalannya praktik-praktik "kekoncoan", dalam mempengaruhi sebuah kebijakan, yang ujung-ujungnya juga adanya komitmen fee. Sehingga semakin komplek bahasan dan lingkup trading of influence ini, karena sejatinya ia lebih ada karena memang "seolah" dibutuhkan yaitu karena adanya upaya lobi-lobi pada pemegang kekuasaan demi tujuan tertentu. Meskipun kadang dalam lobi-lobi tadi sangat berpotensi berujung pada pemberian janji, suap dan atau gratifikasi.