Tadi pagi, di lobi Bandara Raden Intan II Lampung Selatan, sekitar hampir 1,5 jam saya berada di situ. Menunggu boarding Garuda, sekitar pukul 08.00. Kebiasaan saya memang lebih baik lama menunggu jam boarding di Bandara daripada mepet waktu santai-santai di hotel.
Saya memerhatikan, para calon penumpang pesawat Garuda yang juga sudah duduk di kursi lobi, tenggelam dengan kesibukan masing-masing. Saya sendiri, sembari menikmati sarapan pagi yang tadi dibawa dari hotel, menikmati areal lobi. Sampai pada Titik tertentu, mata saya tertuju pada sekatan bidang lobi yang digunakan untuk mereka yang ingin menghabiskan waktu menunggu dengan membaca. Ya, semecam Perpustakaan umum di situ, karena ada puluhan buku dan majalah yang tertata rapi serta dua atau tiga perangkat komputer guna mengakses internet.
Saya ambil foto Titik tadi, yang ternyata diberi nama " Ruang Pojok Digital.". Narasi yang segera terbentuk dalam mind set saya adalah bahwa penyediaan sarana tersebut, sudah mengantisipasi bahwa bila bukuatau majalah yang dipasang, tentu peminatnya dipertanyakan, bila dihadapkan pada dinamika masyarakat sekarang yang sudah masuk dalam dunia teknologi 4.0. Di mana sarana digital, sudah memasuki masa integrasi. Tapi kenapa buku dan majalah secara konven masih juga dipasang di situ? Bisa jadi, pencetus ide Ruang Pojok Digital di Bandara Randen Intan II, tetap memberikan ruang bagi mereka yang "masih menyintai " buku, untuk dibaca di waktu senggang.
Apa korelasi fakta ini dengan tema pilihan kompasiana tentang "bergugurannya toko buku?", tiada lain, bahwa fakta minat baca publik, yang diwakili fakta dalam lobi bandara tadi, dalam skala nasional, bisa menggambarkan seperti itu. Minat membaca pada buku atau majalah, sudah "surut". Seolah, ruang publik yang menyediakan buku-buku dan majalah dan rak-rak, menjadi sebuah nostalgia semata, bila yang diharapkan akan banyaknya peminat yang duduk antri, berderet menghabiskan waktu di tempat tesebut. Korelasinya dengan toko buku, jelas bisa ketebak. Karena anomi baca buku sudah seperti itu, lalu siapa yang akan membeli buku-buku yang dipajang di toko buku?
Saya mencermatinya dari fakta sosialogis, tidak menyentuh penyebab lain yang tentunya signifikan bagi semakin meredupnya dunia toko buku saat ini. Jujur, saya sendiri, dalam beberapa tahun terakhir ini, tidak lagi mendatangi toko buku, untuk memilih buku-buku yang saya sukai. Karena, apa yang ingin say abaca, bisa saya dapatkan dari e-book ataupun literasi kepustakaan lain. Termasuk dalam korelasi ini adalah Koran, hampir sudah satu dasawarsa saya tidak lagi berlangganan. Ini bukan berarti minat baca kurang, tapi media untuk membaca sekarang sudah bergeser dalam era digitalisasi. Menjadi lebih pratis dan tidak perlu membawa-bawa buku setebal 500 halaman misalnya dalam tas atau koper, cukup dalam gadget yang masuk dalam saku.
Tentu menjadi tantangan bagi para Pengelola toko buku, untuk bisa menyesuaikan perkembangan jaman saat ini.Â
Salam Sehat di Akhir Pekan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H