" Betulkah Ayah? "
" Ya, mungkin sebagian kecil dari perjalanan waktu itu sudah pernah Ayah ceritakan padamu, atau Ibu sendiri pernah menyampaikan padamu, sebagai bahan penguat bahwa hidup itu berjalan beriringan dengan ujian-ujian. Akan menjadi lebih kuat, terangkat derajatnya seseorang yang bisa memenangkan ujian tersebut, meskipun ujian berikutnya selalu akan menunggu. "
Aku diam.
" Termasuk apa yang tengah Kamu perjuangkan saat ini. Kamu yakin komitmen perempuan yang Kamu sayangi itu benar-benar serius mau menerima kamu dalam kondisi apapun? "
" Ya Ayah, perempuan itu sudah berkomitmen. "
" Ingat, ada sebuah cerita : seorang pemuda begitu gigih mencangkul tanah di kebun yang ia yakini ada harta karunnya. Ia berbulan-bulan mencangkul tanah tersebut, namun yang ia cari, belum juga ditemukan, sampai akhirnya ia menyerah dan memberikan cangkul pada sahabatnya, seraya berkata : ini cangkul, terus atau tidak silakan kamu tentukan sendiri. Rasanya mustahil ada harta karun di tempat seperti ini. "
Begitulah, Sang Sahabat yang menerima cangkul tersebut, dengan satu keyakinan bisa meneruskan apa yang dicari. Betul juga, tidak butuh waktu setengah hari, harta karun itupun terlihat dan ia tersenyum seraya berkata dalam hati : "sahabat, Kau kalah dengan dirimu sendiri, coba kalau bertahan....harta karun di depan ini, akan kau dapatkan. "
Atas cerita tersebut, Sang Anak segera meraih Handphone-nya. Ia dengan tergagap berkata pada seseorang : " Maafkan...maafkan aku. Beri aku kesempatan lagi untuk tetap bertahan, menunggu waktu orang tuamu, membuka hati untuk kehadiranku. " Sungguh Anak laki-laki itu sangat menyesal, sebenarnya, sekitar satu jam yang lalu, di saat berbincang-bincang dengan Sang Ayah, tangannya secara tak sadar menyatakan mundur dan menyerah pada kenyataan pada perempuan tersebut. Ungkapan mundur, sengaja tidak disampaikan ke Ayahnya, karena itu bukan watak Sang Ayah. Tapi Si Anak benar-benar sudah tidak tahan.
Sang Ayah tersenyum. Seperti tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dari tadi, wajah Sang Anak memang nampak gelisah, walau masih mencoba sesekali untuk tersebut dan berkata tidak dengan geletar pada suaranya. Ia menyembunyikan fakta yang sesungguhnya.
" Apa jawab perempuan itu? "
" Ia memberiku satu kali lagi kesempatan Ayah. "