Jujur ingat, ada sebuah gelas di sudut ruang rumah. Gelas tersebut, awalnya ada 12 buah, seragam warnanya dan ada tulisan perusahaan. Jujur mengenal baik dengan direktur perusahaan tersebut. Pada suatu hari mendekat Hari Raya, datang anak buah Sang Direktur, membawa bingkisan parcel untuk Jujur. Jujur kaget. Jujur bertanya, dan sekilas penjelasan pembawa parcel meyakinkan Jujur bahwa parcel itu benar ditujukan kepadanya. Tak berapa kemudian, ada telpon dan ternyata dari Sang Direktur, pada intinya menyampaikan maaf kepadanya, sekiranya agar menerima parcel yang tak seberapa harganya. " Itu seperangkat alat minum, saja Pak, sebagai tanda bahwa Bapak pernah berjasa kepada perusahaan. Ingat, beberapa bulan lalu Bapak memberikan penjelasan tentang hal yang terkait dengan core business perusahaan? Akibat penjelasan Bapak, membawa perubahan sikap yang signifikan. "
Begitu yang diucapkan Sang Direktur. Jujur tertegun memandang parcel yang memang hanya berisi seperangkat pecah belah untuk minum, itupun ada tulisan dan logo perusahaan. Jujur tak enak hati. Kegelisahan ini ditangkap oleh istrinya. " Terima saja Pak, niat tulus mereka jangan dinodai dengan penolakan. "
Jujur luluh. Jujur biarkan parcel itu. Sampai beberapa bulan setelah Lebaran lewat, masih terbungkus rapi dan tidak dibuka. Sampai suatu hari Jujur tidak tahu siapa yang membuka parcel tersebut. Tahu-tahu sudah digunakan untuk tempat air minum. Gelasnya digunakan untuk menyajikan minum saat ada acara kumpul-kumpul keluarga. Dua atau tiga gelas pecah karena tersenggol saat diletakan di pinggir meja makan. Beberapa waktu kemudian, gelas juga pecah lagi. Kini, tinggal dua gelas yang tersisa dan sengaja Jujur taruh di sudut ruang.
Bagai hendak berkata, gelas itu menyapanya, suatu hari : " Hati Bapak sangat tidak nyaman memandang saya. "
Jujur diam, namun mengiyakan. Ingin menggali isi hatinya, gelas itu seolah bertanya lagi pada Jujur : " Awalnya saya ber-12, sekarang tinggal dua buah. Pecah-nya teman-teman saya, delapan gelas tempo hari, menunjukan tidak adanya ketulusan hati bapak menerima kehadiran saya. Mungkin Jujur dan satu gelas lainnya akan mengalami nasib yang sama. Pecah. "
Jujur masih terdiam. Dialog imajiner tersebut, menyemburatkan sebuah puncak kegelisahan tentang makna dan hakikat sebuah pemberian dan penerimaan. Dua sisi hal yang segaris dan kadang bertolak belakang. Segaris ketika antara pemberi dan penerima berada pada satu titik kesepakatan. Bertolak belakang ketika maksud si pemberi dan maksud si penerima tidak bertemu sebelumnya. Menjadi sebuah persilangan dan ada pada sebuah kesimpulan : ketidaksepakatan. Hanya saja ketidaksepakatan ini berlanjut tanpa adanya sikap yang tegas untuk satu kata : dikembalikan.
Keberlarutan sikap tersebut, membuncahkan kekecawaan yang berujung pada ketidakutuhan dan menjelma pada tidak manfaatan. Ini ditandai dengan pecahnya gelas satu persatu. Jujur pada kesimpulan ini karena sangat mempercayai gelas sebagai sebuah harta, tiada membawa keberkahan manakala cara mendapatkannya bukan dari sebuah niat baik untuk memperolehnya. Jujur merasa tidak berhak atas itu, namun ia datang dengan paksa, tanpa Jujur kuasa menolaknya.
Sebuah ibroh yang sangat berarti dalam perjalanan hidup Jujur. Pada perjalanannya sebagai pegawai pemerintah, Jujur membawa beban berat atas harapan dan doa orang tuanya, yaitu sebuah nama. Jujur, demikian nama yang ia sandang. Karena ketaatan dan kepatuhan pada orang tuanya, membuatnya sudah bertekad pantang untuk mengkhianati harapan dan doa orang tuanya yang kini sudah tiada itu.
Ada senyum puas ketika di TV, ia melihat tayangan bagaimana para pejabat satu persatu berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, terkait gaya hidupnya yang suka pamer harta dan belakangan mulai dikulik dan ditelisik, bagaimana keabsahan perolehan harta tersebut.
Salam Jujur Itu Hebat