KPK juga tengah menelusuri keberadaan aset Lukas lainnya. Nilai rekening dan aset Lukas Enembe tersebut ternyata, jauh lebih besar dari yang dia laporkan ke KPK.Â
Menyitir laman Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara atau LHKPN yang dikeluarkan KPK, Lukas Enembe terakhir kali melaporkan kekayaannya kepada negara pada 31 Maret 2021.
Pengalaman empiris, data pada LHKPN sangat membantu penyidik dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang.Â
Anasir materil perbuatan tindak pidana pencucian uang adalah dengan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atau dengan maksud menyembunyikan  atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.
Untuk mengelabuhi atau menyamarkan, acapkali dilakukan dengan pembelian aset tidak bergerak seperti tanah dan bangunan atau dalam bentuk property yang di atas namakan orang lain.Â
Perkara tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh mantan Direktur di Kementerian Keuangan RI, menjadi salah satu contohnya.Â
Perkara pokok yang dilakukan AP, nama mantan Direktur tersebut adalah penerimaan Gratifikasi dalam rentang waktu masa jabatannya, yaitu antara tahun 2014 sampai dengan 2019, sebesar Rp. 29 Milyar dan suap sebesar Rp. 14 Milyar.Â
KPK sudah melakukan penyitaan aset harta kekayaan AP sekitar Rp. 57 Milyar. Ironisnya, di LHKPN hanya dilaporkan sekitar Rp. 18,62 Milyar.
Dengan melihat fakta tersebut, memang menjadi sebuah "simalakama" bagi Penyelenggara Negara yang tidak jujur, mau menyembunyikan atau melaporkan apa adanya? Atau menyiasati pelaporan dengan bentuk aset "yang tidak bisa dinilai harganya?"
Apa contoh aset yang tidak bisa dinilai harganya? Misalnya pembelian benda-benda antik seperti keris, batu akik, dan pernik-pernik antik lain yang tidak bisa ditafsir harganya secara umum atau dengan bahasa lain memperoleh "hibah" dari orang tua.Â