2023, Meeting Of Minds
Masih dalam suasana transisi tahun 2022 ke tahun 2023, saya mengucapkan Selamat Tahun Baru, Semoga di Tahun ini Semua menjadi lebih baik dari Tahun sebelumnya. Sehat dan selalu bahagia, untuk kita semua.Â
Refleksi saya di tahun baru ini adalah adanya sebuah pertanyaan yang sering diajukan ketika ada kesempatan dialog tentang tindak pidana korupsi adalah  apa sebenarnya perbedaan antara suap dan gratifikasi? Bukankah keduanya sama-sama memberikan sesuatu kepada pejabat? Mengapa suap penerima dan pemberi bisa dikenakan pasal tindak pidana korupsi, sedangkan terhadap gratifikasi hanya bisa dikenakan pidana kepada penerimanya saja? Pertanyaan semacam, sering mengemuka ketika pembahasan terkait suap dan gratifikasi.
Bila disebutkan keduanya ada persamaan yaitu pemberian, benar adanya. Keduanya sama-sama memenuhi perbuatan adanya pemberian dari satu pihak ke pihak lainnya.Â
Lalu apa bedanya?Â
Ilustrasi sederhananya seperti ini, suap diberikan A kepada B (yang mempunyai kewenangan karena jabatan yang melekat padanya). Pemberian oleh A dengan keinginan misalnya ia akan mendapat jabatan tertentu. Pemberian dengan adanya "meeting of minds" ini substansi dari tindak pidana suap. Jadi pembeda antara suap dan gratifikasi terletak ada atau tidaknya meeting of minds (kesepakatan) tersebut.
Karena, bila pemberian A kepada B tanpa adanya meeting of minds tadi, masuk sebagai gratifikasi. Bila dalam 30 hari pemberian ini ternyata B melaporkan pemberian kepada KPK, maka B tidak bisa dianggap menerima gratifikasi. Namun bila tidak melapor, ia nikmati pemberian tersebut, masuklah ia sebagai penerima Gratifikasi.Â
Tentang Gratifikasi ini diatur dalam Pasal 12B Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemberi Gratifikasi tidak diatur dalam ketentuan pasal tersebut.
Apakah ada perkara pemberi Gratifikasi yang diputus bersalah? Sebagaimana dikutip dari imcnews.id, Â Terdakwa Samin Tan selaku pemberi gratifikasi kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota DPR belum diatur dalam peraturan perundang-perundangan, yang diatur adalah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dalam batas 30 hari tidak melaporkan ke KPK sesuai Pasal 12 B sehingga karena Eni Maulani tidak melaporkan gratifikasi maka diancam dalam Pasal 12 B.Â
Samin Tan adalah pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal Tbk (BLEM), dan Eni Saragih merupakan anggota Komisi VII DPR periode 2014-2019. Pemberian Samin Tan pada Eni dengan agar Eni Maulani Saragih mau membantu permasalahan pemutusan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi 3 antara PT AKT dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Kalimantan Tengah.
Bila ditelaah kemudian, bukankah tujuan pemberian adalah agar pihak penerima mau membantu apa yang menjadi keinginannya? Terungkapnya fakta bahwa pemberian tersebut sebagai sebuah meeting of minds-itulah yang menjadi salah satu keyakinan hakim, pemberian bukan sebagai gratifikasi. Unsur means rea- atau niat jahat ada pada pihak yang menerima, yaitu tidak melaporkan ke KPK dalam waktu 30 hari sebagaimana aturan normative mengenai gratifikasi.
Fakta ini menunjukan, betapa tipis-nya perbedaan antara suap dan gratifikasi. Bisa saja satu orang menafsirkan bahwa ada yang disembunyikan (sebagai sebuah laten) dari sebuah pemberian, namun bila dikaji lebih mendalam dengan "hati" adakah pemberian tanpa adanya sebuah maksud?Â
Banyak tools yang bisa digunakan untuk menarik benang merah sebuah pemberian dengan nilai uang atau materi yang tidak sedikit, kepada orang yang "sama sekali" sebelumnya bisa jadi tidak kenal, bukan saudara atau kolega.Â
Perbedaan "penafsiran" pada perkara tersebut di atas, terkait dengan atas ada tidaknya meeting of minds sebagai pembeda antara suap dan gratifikasi, seperti memandang rel kereta api dari kejauhan, nampak satu titik, namun bila ditelusuri semakin dekat, semakin tidak ketemu. Ini masih mungkin sangat terjadi dan memang begitulah hukum, senantiasa memunculkan perdebatan dengan masing-masing lalasan dan logikanya.Â
Semoga saja, menjadi sebuah pencerahan hati, hakikatnya ketika berbicara tentang hukum tidak sekedar apa yang tertulis, namun nilai keadilan juga harus dijadikan pertimbangan.
Salam Sehat dan Bahagia, Tetap Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H