Wajah Menunduk Di Ruang Bezuk (Sadarlah Wahai Koruptor)
      Rutinitas bagi saya, ketika hendak ke kantor, saya melewati ruang tunggu bagi para pembezuk koruptor yang ditahan di Rutan KPK. Bangunan tahanan terletak di belakang Gedung Merah Putih. Ada pintu keluar di situ, yang biasa digunakan oleh pegawai KPK untuk keluar masuk di sela-sela aktifitas kerja. Ada deretan warung yang menyatu dengan perumahan penduduk. Untuk para pembezuk atau penjenguk tahanan di Rutan KPK tersebut, dipastikan sudah mulai berdatangan dari pagi sekitar jam 06.00 setiap hari Senin-Kamis. Jam bezuk diberikan setiap hari Senin-Kamis dari jam 09.00 WIB sampai dengan 12.00 WIB, kecuali hari libur.
      Menelisik satu persatu wajah para pembezuk, yang kebanyakan dari sanak keluarga menunjukan ekspresi yang "mendung". Mereka, datang lebih awal dan duduk pada deretan kursi tunggu yang teduh. Barang bawan mereka taruh di beberapa tas. Terlihat beberapa jenis makanan, minuman dan setumpuk pakaian.
      Pada sebuah kesempatan, saya melihat seorang perempuan berusia sekitar 40 an tahun. Jam waktu itu menunjukan 07.45 WIB. Dia terlihat sendiri di ruang tunggu. Melihat pakaian dan asesorisnya, dia terlihat fashionable. Bahkan saya sempat melihat, dalam kesendirian tersebut perempuan tersebut mengeluarkan alat make-upnya. Ia memoles wajahnya, menyapu wajahnya dengan bedak. Sesekali ia melihat wajahnya pada cermin yang ada di tangan kirinya.
      Selesai menata diri, ia duduk dengan pandangan berulang ke arah pintu rumah tahanan, yang tidak lebih dari ukuran dari pintu pada umumnya. Di sekitar pintu terlihat dinding besi yang kokoh dan di atasnya kawat berduri mengelilingi. Pada sudut-sudut bangunan nampak CCTV. Sungguh, menggambarkan sebuah situasi yang kurang nyaman. Di tempat seperti itulah " aku harus menengok". Mungkin..bisa jadi ini ungkapan untuk mewakili perasaan perempuan tadi.
      Ya, bisa dipastikan perempuan itu merelakan waktu berada di tempat itu, karena keadaan telah mengatarkannya ke tempat tersebut. Keadaan? Ya, sebuah keadaan, di mana orang yang hendak dijenguknya, entah itu suami, istri atau hubungan darah lainnya meringkuk sebagai seorang tahanan KPK, sebuah status yang tidak nyaman di dengar dan seharusnya, membuat aib bagi keluarga.
      "Seharusnya? " Ya, menjadi seorang tahananan, sama halnya dengan memberikan stigma bagi diri sendiri untuk siap dipersepsikan oleh masyarakat sebagai orang yang telah bersalah, dalam konteks ini telah melakukan korupsi! Sebuah perbuatan yang "seharusnya" pula, akan mengantarkan pejabat untuk mundur dari jabatannya atau bahkan melakukan hara-kiri atau bunuh diri. Tapi ini di Jepang, Thiongkok atau Korea.
Menteri Ekonomi Jepang, Akira Amari, mengumumkan pengunduran diri walau sudah membantah menerima uang suap dari sebuah perusahaan konstruksi. Pengunduran itu dilihat beberapa kalangan sebagai hal yang mengejutkan karena Perdana Menteri Shinzo Abe sudah mengatakan keinginan agar Amari tetap pada jabatannya. Amari dan stafnya, seperti dilaporkan mingguan Bunshun, dituduh menerima sedikitnya 12 juta yen (atau sekitar Rp1,5 miliar) dari sebuah perusahaan konstruksi yang tidak disebutkan namannya. Dia sudah membantah tuduhan tersebut namun mengakui stafnya menerima uang dan meminta maaf dengan mengambil tanggung jawab karena merusak kepercayaan atas pemerintah. "
Sejarah juga mencatat, Seorang pejabat militer senior China, Jenderal Zhang Yang, dilaporkan bunuh diri di kediamannya , setelah dia diperiksa atas tuduhan korupsi. Â Zhang menggantung dirinya sendiri di rumahnya yang berlokasi di Beijing. Pemegang posisi penting di Komisi Militer Pusat China tersebut tengah diselidiki atas hubungannya dengan sejumlah pejabat militer yang terjerat kasus korupsi, yaitu Guo Boxiong dan Xu Caihou.
      Pada kesempatan yang lain, masih di bulan yang sama, ada empat perempuan yang duduk di tempat tersebut. Usianya antara 30 tahunan dan 50 tahunan. Sepertinya, mereka bukan dalam satu rombongan. Bisa jadi akan membezuk dua tersangka. Mereka tidak saling bercakap dan duduk berseberangan kursi. Ada kegalauan di antara mereka. Kegalauan yang tercipta karena harus menunggu antara 2 hingga 3 jam lagi, atau kegalauan yang bercampur dengan kerinduan pada sosok yang mereka sayangi, mereka hormati namnun statusnya kini telah menjadi tersangka?
      Status tersangka korupsi yang menjadikan keluarga malu. Namun, perasaan ini harus mereka pendam, atas nama "keluarga" atau "hubungan darah". Apakah hal seperti ini sempat juga terpikirkan oleh para koruptor yang tengah menjalani  proses pidananya tersebut? Akankah terpikirkan, bagaimana istri, anak atau saudara mereka mengunjungi dirinya dalam batas status antara keluarga dan "tersangka korupsi?" Masihkah terbersit rasa malu, menyesal dan menjadi sebuah ironi?