Mohon tunggu...
Dr. Herie Purwanto
Dr. Herie Purwanto Mohon Tunggu... Penegak Hukum - PNYD di KPK (2016 sd. Sekarang)

Bismilah, Menulis Tentang Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Sebuah Antitesis Untuk Koruptor

19 Desember 2022   07:33 Diperbarui: 19 Desember 2022   09:06 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sebuah Antitesis Untuk Koruptor

KPK kemaren melakukan OTT. Seorang pejabat legislator di Jawa Timur beserta beberapa orang digelandang ke Kantor KPK di Jakarta. Tertangkapnya legislator tersebut menambah dalam hitam koruptor di Indonesia. Korupsi, seperti tiada ujung.

Secara anekdot, artikel ini ingin menarasikan koruptor sebagai orang yang egois dan tidak sayang keluarga. Sekali lagi,  artikel ini sebuah antitesis!

Pertama, kalau koruptor itu pintar, smart, ia bisa dengan rapi menyembunyikan modus korupsinya. Niat jahat atau means rea untuk melakukan korupsi tidak mungkin tiba-tiba. Pada saat niat ini muncul, didukung ada kesempatan, maka berusaha jejak-jeak korupsinya sudah perlahan dihilangkan atau disamarkan. Korupsi tidak mungkin dilakukan sendiri, oleh karenanya, ia sudah membangun konspirasi dengan kolega korupsinya untuk bersama-sama menghilangkan jejak korupsinya. Salah satu yang mungkin dilakukan adalah tidak menggunakan alat komunikasi yang jelas-jelas bisa disadap oleh KPK. Cara kerja OTT dengan penyadapan ini, bukan menjadi sebuah rahasia, se kelas dan se level koruptor, tentulah paham dan mengetahuinya. Singkatnya, karena " ego-nya" ini ia tertangkap KPK. Sedangkan koruptor yang masih bisa melenggang bebas, dia masih dalam katagori smart dan rapi dalam modusnya. Akankah ia nantinya juga akan terjerembab pada lobang yang ia gali sendiri? Pepatah bijak menyebutkan sepandai-pandai tupai melompak, sekali ia akan terjatuh juga.

Pemberitaan dan ekspose oleh KPK yang transparan tentang OTT dan penanganan korupsi oleh KPK, sejatinya bisa menjadi "media tutorial" bagi koruptor. Bagaimana pejabat A tertangkap, pejabat B kena kasus OTT, terjabar dalam media. Sehingga bisa dijadikan "leaning learnt" para koruptor tadi. Ya seperti tupai tadi, dari tutorial, berusaha menghapus jejak digital dan dokumen elektronik maupun yang hard-copy, tetap saja ia jatuh dan tertangkap KPK. 

Kedua, bila tercitrakan koruptor sebagai penyayang keluarga, nonsens, omong-kosong. Kenapa? Justru ketika means rea-kemudian diwujudkan dalam tindakan nyata, sebenarnya ia secara sadar "siap untuk mengenakan rompi tahanan korupsi." Artinya, ia sangat sadar bila tertangkap oleh KPK atau penegak hukum lain karena korupsi, sudah terbayang anak, istri, mertua, saudara, orang tua, kolega akan menjadi malu atas perbuatannya. Atau barangkali ia terlalu pe-de bahwa perbuatannya akan sempurna, tidak akan tertangkap dan bisa menggondol jutaan, milyaran atau triyun rupiah yang dikonversi ke dollar biar bisa masuk saku? 

BIla seperti ini, biasanya baru "tersadar" ketika ia sudah benar-benar tertangkap. Ketika hukum sudah berjalan dan memberinya "obat" untuk siuman dan sadar bahwa langkahnya telah keliru. Lex Samper Dabit Remedium, hukum kadang akan selalu memberi obat. Begitulah.

Jadi tidak heran, ada penyesalan, ada air mata, ketika koruptor sudah tertangkap. Namun ia merasa hebat, saat belum tertangkap, seolah apa yang ia lakukan sebagai sebuah "coba-coba", bila tidak tertangkap yang tujuannya tercapai, bila tertangkap ya, gimana lagi, namanya usaha? Ini sebuah kekonyolan dengan mengorbankan harga diri, martabat keluarga dan institusi.

Ketiga, ini menjadi sebuah ironi, seperti diberitakan media beberapa saat yang lalu, dimana pejabat yang seolah anti koruptor, memperolah penghargaan anti korupsi dan sebagainya, sehingga ia dipandang sebagai pejabat bersih, sampai akhirnya KPK menggelandang-nya ke Gedung Merah Putih, Jakarta. Tutur katanya yang begitu mengandung "magnit" anti korupsi, anti gratifikasi dan cluster korupsi lainnya, tertutup oleh fakta perbuatan yang mengantarkannya sebagai koruptor,  facta sunt potentiora verbis. Ia melawan adagium yang menyebutkan index animi sermo, speech is the index of the mind,  cara seorang berbicara menunjukan jalan pikirannya. Akhirnya, iapun tergelincir. Mendapat stigma : Koruptor.

Salam anti korupsi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun