Publik tentu belum melupakan nama Nur Afifah Balqis, yang kala ditetapkan sebagai tersangka Korupsi oleh KPK masih berusia 24 tahun. Ia kelahiran 1997 dan masuk dalam kepengurusan  Partai Demokrat di Kota Balikpapan. Mentereng-nya ia alumnus sebuah Universitas menterang namanya dengan  Jurusan Hukum Bisnis. Terbongkarnya keterlibatan Nur Afifah, berbarengan dengan  kasus Abdul Gafur Mas'ud Bupati Penajem Paser Utara terbongkar, dua tahun yang lalu.
Pertanyaannya sekarang, mengapa yang muda, yang masih mempunyai pemikiran"fresh" nilai-nilai idealisme bisa terjebak dalam pusaran cluster korupsi? Dunia kampus, identik dengan dunia idealism. Namun faktanya, sesuai data KPK, justru hampir 86% koruptor merupakan lulusan pendidikan tinggi. Munculnya Nur Afifah Balgis, dengan usia 24 tahun tadi menjadi sebuah kontradiktif bahwa pelaku korupsi merupakan orang-orang usia "tua", sebagaimana terbayangkan selama ini.
Yang muda, yang korupsi, menjadi sebuah perenungan bersama. Usia muda sebagai usia yang produktif, sudah seharusnya bisa berpikir jernih dan "mampu" membedakan mana urusan yang masih dalam bungkusan "normative" dan mana yang merupakan perbuatan melawan hukum. Walaupun dengan latar belakang bukan "orang hukum", namun sejatinya, untuk memahami bahwa suatu perbuatan sebagai perbuatan yang melawan hukum (Dalam konteks pidana, wederrechtelijk) tidaklah perlu harus kuliah di Fakultas Hukum.
Diperlukan kejernihan hati nurani, ketika "untuk mendapatkan" sesuatu "dengan memberi sesuatu" maka itu sudah berada pada jalur yang tidak benar. Jalur yang tidak benar, maka pasti ada konsekuensinya. Logika berpikir dan memahami secara simple ini, tentu berlaku universal. Â Jadi tidak harus ia menguasai asas-asas hukum. Apalagi sebagai seorang "milenial", sangat mudah untuk mendapatkan akses jawaban apakah sekiranya perbuatan yang akan dilakukan sebagai perbuatan yang "benar" atau tidak benar.
Sebagai bahan deskripsi, inti dari perbuatan Nur Affiah Bilqis adalah ia sebagai bendahara partai memiliki rekening. Pada rekeningnya tersebut tersimpan uang hampir setengah milyar rupiah, yang oleh Sang Bupati dititipkan. Sang Bupati yang menjadi sentral pelaku korupsi-nya. Uang yang tersimpan di Bilqis tersebut, belakangan diketahui sebagai uang "transit" dari rekanan proyek yang "menyuap" bupati. Melalu rekeningnya tersebut Bilqis "mengelola" transaksi.
Apakah dengan latar belakang sebagai seorang alumni jurusan Hukum Bisnis tidak "mencium" adanya kejanggalan-kejanggalan dalam transaksi? Uang yang masuk dari mana, dst-nya, semestinya adalah menjadi bahan kajian sendiri, uang "halal" atau sebaliknya? Bukankah masalah terkait dengan korupsi bisa dibaca atau dipelajari instan dengan membuka telusur google? Di sana dengan mudah bisa diakses, apa itu pencucian uang (yang memuat placement, layering dan integration), apa itu suap, apa itu Gratifikasi dan sebagainya.
Menjadi sebuah antithesis, ketika di era sekarang ini, masih muda, masih bau kampus, atau "ijasah kesarjaan" masih baru kemaren sore, namun tidak memiliki kepekaan terkait suatu perbuatan sebagai sebuah perilaku korupsi. Karena sesuai dengan maknanya korupsi (corrupt), sesuai Kamus bahasa Indonesia tidak lepas dari anasir  perbuatan tidak jujur dan buruk. Sesuatu yang "tidak" sulit untuk dipahami dalam keseharian kita.
Dengan semangat untuk early warning, pada saat acara "dialog" dengan para alumni dan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pekalongan, Sabtu, 10 Desember 2022 di Gedung C Kampus tersebut, saya menyerukan kembali semangat anti korupsi bagi kalangan muda, khususnya mahasiswa untuk tidak terjebak dalam perilaku korupsi saat mereka sudah lulus dan masuk ke lingkungan profesi. Terlebih lingkungan birokrasi, yang penuh dengan "peluang" untuk melakukan korupsi. Korupsi tidak membawa kebahagiaan, yang akan diperoleh adalah kesengsaraan.
Salam Anti Korupsi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H