Mohon tunggu...
Heri Prabowo
Heri Prabowo Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hampir 50

lagi belajar jadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kaos dari Gaji Pertamaku 20 Tahun Lalu

6 April 2016   13:58 Diperbarui: 6 April 2016   14:30 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="koleksi pribadi"][/caption]Blok M, Jakarta, suatu hari tahun 1995

Matahari sudah meninggi. Sinarnya menyebar ke seluruh penjuru bumi. Seperti menyebarnya aku bersama ratusan mahasiswa Sekolah Tinggi Akutansi Negara (STAN) di sejumlah pusat perbelanjaan Blok M. Sebagian lagi yang belum menerima rapelan gaji (Mahasiswa tingkat II STAN kala itu menerima gaji dan tunjangan) menyerbu kantor BBD (kini Bank Mandiri) Cabang Blok M. Dengan seragam hitam putih, mereka bagai pasukan yang berhasil  memaksa pimpinan kantor BBD  mengulur jam layanan nasabah. Seolah kami nasabah kelas kakap.

“Khusus untuk mahasiswa STAN, semua akan kami layani walaupun kasir tutup jam 3 sore,“ seru Satpam untuk menenangkan.

Hari ini adalah hari yang paling membahagiakan kami. Rapelan gaji turun. Karena jumlahnya banyak (akibat tetunda hampir setahun), maka kami mahasiswa STAN dan pihak Kementrtrian Keuangan memutuskan untuk memasukkannya dalam rekening BBD.

Seminggu lalu kami telah mengumpulkan dan mengisi form pembukaan rekening. Kini kami tinggal tanda tangan buku tabungan, sekaligus menarik uang sesukanya.

Bayangkan ada lebih 400 orang, buka rekening dan ambil uang sekaligus. Pasti terjadi antrian yang luar biasa.

Antrian dikoordinir ketua kelas masing-masing. Sialnya Setya, ketua kelasku, justru terlambat datang karena macet menghadang. Padahal  antrian sudah mengular. Alhasil, wajah teman-teman sekelasku tampak lesu. Beberapa diantaranya bahkan  penuh emosi tak terkendali.

“Kita bisa bersabar menunggu berbulan-bulan. Harusnya juga bisa bersabar hanya beberapa jam lagi, “ ucap Setya menenangkan.

Inilah sifat manusia, saat yang ditunggu di depan mata, kesabaran mereka justru sirna.

Para nasabah bank yang datang menatap kami penuh tanda tanya. Maklum ratusan mahasiswa  duduk di lantai teras bank karena tak ada tempat duduk lagi. Mereka mirip anak terlantar tapi tak layak disantuni karena memakai seragam rapi.

Inilah penggalan kisah dalam Novel Mimpi-mimpi tak bertepi. Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan anak-anak muda untuk meraih mimpi. Mimpi berkuliah di perguruan tinggi ternama tanpa membebani orang tua. Mimpi pakar keuangan. Mimpi menjadi ulama. Mimpi menjadi penulis. Mimpi menjadi pengusaha. Bahkan mimpi menjadi artis. Sebab mimpi-mimpi kami tak bertepi. Dan kami bukan sekedar pemimpi, tapi pemimpi yang berani langkahkan kaki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun