Islam yang puritan dalam moral, radikal dalam pemikiran, struktural dalam politik, kok rasanya terngiang-ngiang sebuah pepatah 'Tak Kenal Maka Tak Sayang'. Mengapa? Karena rasanya mereka yang berada dalam kelompok yang ingin memurnikan ajaran Islam dengan mengajak kedalam Islam yang kaffah itu sedang mabuk kebayang, jatuh cinta karena doktrin dan dogma, tanpa ada usaha mengenal Islam itu sendiri. Kenal seh, tapi hanya melalui sudut pandang yang itu-itu saja, itupun jangan-jangan hanya pasrah menjadi pengikut tanpa melibatkan logika, nalar dan berpikir kritis. Padahal yang namanya kaffah itu holistik menyeluruh. Pertanyaannya, bisakah kita kaffah tanpa mau mendengar atau mengkaji perspektif Islam dari kelompok-kelompok lainnya? Bukankah jika hanya satu perspektif itu akan jadi subyektif...
Jika melihat fenomena menggeliatnyaTerus terang ini membuat bingung, marketing kelompok Islam puritan yang hebat atau mereka yang mabuk kepayang terlalu malas untuk mencerna, menguyah dan menelan apa yang disampaikan sehingga bisa mabuk kepayang tanpa kenal lebih dalam mengenai Islam. Mungkin faktor keduanya bersumbangsih pada fenomena belakangan ini yang tren dengan khilafah, hijrah, syariah.
Menyoroti Temu Muslimah Muda 2024 yang mengusung tema "The Next Level Activism: We Aspire, We Engage & We Stand for Islam Kaffah" yang bertujuan untuk meningkatkan aktivisme kaum muda dengan mendakwahkan Islam kaffah, salah satunya dengan mengajak kaum muda agar anti-demokrasi sebagai bentuk perjuangan menuju Islam kaffah. Propaganda bahwa demokrasi merupakan alat penjajahan, merusak akidah umat Islam, memusuhi syariat, hingga mencegah kebangkitan Islam kerap di gelorakan oleh kelompok puritan Islam.
Apakah Islam kaffah harus dengan menegakkan khilafah untuk mengganti sistem demokrasi yang telah ada? Sesungguhnya yang menjadi permasalahannya justru terletak pada pribadi masing-masing, diri kita sendiri dalam memaknai Islam. Bicara Islam kaffah, Al Qur'an mengajak kita pada sifat bukan identitas. Harus kita bedakan mana Islam sebagai identitas mana sebagai sifat.
Jadi jangan keburu geer kalau Al Qur'an mengatakan 'Innaddina Indallahil Islam; Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam'. Hal tersebut bukan merujuk pada agama Islam (identitas) namun keIslaman (sifat) yang bukan tampak sebagai subyek tetapi bagaimana sang subyek memiliki sifat yang menitikberatkan pada sifat keIslamian dari pada hanya sekedar identitas.
Hal ini bisa kita lihat bagaimana Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim namun tingkat korupsinya tinggi, netizennya paling tidak sopan se-Asia Tenggara berdasarkan laporan Digital Civility Index (DCI), dengan hoax, scam atau penipuan, ujaran kebencian, dan diskriminasi. Ini menjadi bukti bahwa kuantitas penduduk yang beragama Islam tidak berbanding lurus dengan kualitas keIslaman.
Jadi, daripada koar-koar mendakwahkan Islam kaffah untuk suatu perubahan, lebih baik refleksi ke dalam diri sendiri, apakah kita yang beragama Islam sudah bersikap Islami? Sejatinya sebuah perubahan diawali dari diri sendiri, mending kita sibuk dengan sesuatu yang bisa kita kontrol daripada sesuatu diluar kuasa kita, yaitu mengharap perubahan orang lain, apalagi negara.Â
Disaat semua pribadi berbenah diri mengutamakan sifat keIslaman (kaffah), maka akan tercipta kesalehan kolektif dimana ruang-ruang bersama akan hening dari cacian, umpatan, merendahkan, prasangka, saat itulah kita dapat berpikir jernih bekerjasama untuk kemaslahatan semua tanpa terkecuali ejawantah dari Islam rahmatan lil alamin. Kenalilah dirimu maka kau akan mengenal Tuhanmu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H