Indonesia menjadi negara pertama yang dikunjungi dalam rangkaian perjalanan tersebut, bisa dikatakan kunjungan pertama ke Indonesia menjadi bukti pengakuan dunia bahwa Indonesia menjadi model kerukunan dalam keberagaman.
Paus Fransiskus, sebagai pemimpin tertinggi Gereja Katolik dan Kepala Negara Vatikan melakukan kunjungan perjalanan ke Asia Tenggara.Namun dalam sejarahnya, Indonesia juga pernah mengalami konflik bernuansa agama seperti di Maluku dan Poso. Konflik tersebut seringkali dijadikan contoh oleh pihak-pihak yang skeptis bahwa masyarakat Indonesia mampu hidup damai berdampingan. Stereotip memang kerap muncul menciptakan ketegangan dan memicu konflik, tidak hanya di Indonesia tapi juga di berbagai belahan dunia yang mengalami konflik sektarian.
Konflik Maluku dan Poso memang menjadi catatan kelam, tapi potret kerukunan dan toleransi antar agama pun menghiasi berbagai daerah di Indonesia. Sebagai contoh keberadaan masjid Al-Hikmah dan Gereja Joyodiningratan yang bersebelahan, hanya terbatasi oleh tembok saja.
Di Desa Ngargoyoso, di kaki Gunung Lawu, terdapat tiga tempat ibadah, yakni masjid, gereja, dan pura berdiri berdampingan. Di Kota Denpasar, Bali, pecalang yang bergama Hindu turut serta melakukan pengamanan melaksanakan sholat ied. Banser juga turut menjaga gereja setiap perayaan natal. Pengurus Gereja Katedral Jakarta Pusat mengubah jadwal misa Minggu pagi yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri agar halaman gereja bisa digunakan sebai tempat parkir umat muslim yang sholat Ied di Masjid Istiqlal.
Di Kabupaten Tambrauw, Papua Barat, panitia yang bertugas pada perayaan hari besar umat Kristen adalah umat Islam, begitu juga sebaliknya. Ini hanya sgeelintir potret kerukunan yang terjalin antar agama di Indonesia.
Kerukunan dan toleransi tersebut bukan karena desakan pemerintah, tapi tumbuh dari kebersamaan di tengah masyarakat dengan sendirinya. Komunikasi yang baik dan sikap saling menghormati membuat seluruh warga dapat hidup dalam damai walau berbeda keyakinan. Fenomena tersebut menjadi afirmasi sederhana bahwa perbedaan identitas agama sudah semestinya berjalan beriringan dengan damai dan bahagia. Â
Hal tersebut sejalan dengan tema kunjungan Paus Fransiskus "Faith, Fraternity, and Compassion" atau kalau kita terjemahkan dalam bahasa Indonesia adalah "Keyakinan, Persaudaraan dan Cinta Kasih". Diantara ketiga hal itu, kita berfokus pada cinta kasih. Sering kita mendengar apa yang kita tanam maka itu yang akan kita petik, ini merupakan hukum sebab akibat dalam kehidupan. Kita harus mengawali dengan 'mencintai' maka pasti akan berbuah 'dicintai'.
Ketika kita mencintai alam, dengan memelihara tanaman, menjaga kebersihan lingkungan, maka kita akan dicintai oleh alam, kita diberikan kesejukan, keindahan bahkan kesehatan. Begitu juga ketika kita mencintai masyarakat lingkungan sekitar, maka sudah pasti akan dicintai oleh masyarakat itu sendiri, apapun kesulitan dan masalah yang kita hadapi sudah pasti akan dibantu sebagai bentuk kita dicintai masyarakat.
Mencintai berarti memberikan kasih sayang, perhatian, pengertian dan dukungan kepada orang lain. Ini membuat seseorang merasa dihargai dan diterima oleh orang lain. Selain itu mencintai juga memberikan rasa bahagia dan kepuasan yang lebih besar dari pada hanya merasa dicintai, oleh karena itu mencintai adalah sikap positif yang harus dipelajari oleh setiap orang.
Ketika seseorang belajar untuk mencintai, ia akan menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih memahami kebutuhan dan keinginan orang lain, tidak mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukan orang lain kepadanya, dan menjalin komunikasi terbuka saling mendengarkan untuk memahami satu sama lain. Ini membantu memperkuat hubungan antara orang-orang yang terlibat dalam suatu hubungan, baik itu hubungan keluarga, hubungan pertemanan atau hubungan antar sesama pada lingkungan masyarakat.