Mohon tunggu...
Herry Gunawan
Herry Gunawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang pemuda yang peduli

Saya seorang yang gemar fotografi dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Terus Mewaspadai Metamorfosa Para Simpatisan JI

14 Juli 2024   10:20 Diperbarui: 14 Juli 2024   10:20 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kearifan Lokal - jalandamai.org

30 Juni 2024 menjadi peristiwa penting bagi Jamaah Islamiyah (JI). Para petinggi organisasi teror yang sempat ditakuti oleh banyak negara ini, memutuskan membubarkan organisasinya. Mereka memutuskan untuk kembali ke negara kesatuan republik Indonesia, negara yang selama ini mereka tentang. Mereka juga berkomitmen meninggalkan paham radikal, yang selama ini mereka anut. Mereka mengaku akan mengedepankan Islam yang santun.

Banyak kalangan menilai, para pendiri JI ini akan memilih jalur pendidikan. Mereka akan memperbanyak dakwah melalui aset-aset yang mereka miliki. Bisa jadi, alasan pembubaran JI adalah untuk menyelematkan aset yang mereka miliki. Seperti diketahui, BNPT sebelumnya telah menyatakan ada pesantren yang telah terpapar paham radikal. Para pengurusnya sengaja menyusupkan paham tersebut. Bisa jadi, pesantren yang dimaksud adalah aset para tokoh paham radikal, termasuk para pendiri JI tersebut.

Lalu, ketika mereka memilih ke jalur pendidikan, apakah dengan sendirinya paham radikal yang selama ini dianut para anggota JI akan hilang? Tentu saja tidak. Masih ingat dengan HTI, organisasi ini tidak berhubungan secara langsung dengan JI. Tapi organisasi ini begitu masif menyebarkan propaganda radikalisme melalui kampus, kementerian / lembaga dan berbagai tempat lainnya. Pemerintah telah menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang di Indonesia dan dibubarkan. Apakah radikalisme di Indonesia dengan sendirinya hilang?

Tentu tidak. Beberapa kali para simpatisan HTI ini terus melakukan provokasi, untuk menunjukkan bahwa mereka masih eksis meski organisasinya sudah tidak ada. Beberapa kali mereka menggelar aksi unjuk rasa, dan menyusupkan konten khilafah di dalamnya. Tidak hanya itu, para oknum penceramah di media sosial, juga seringkali melakukan provokasi kebencian. 

Bahkan, benda budaya seperti wayang juga dipersoalkan, karena dianggap sebagai alat untuk menyekutukan Allah SWT. Tentu saja hal ini sangat berlebihan. Jika kita flashback ke belakang, wayang justru digunakan oleh Wali Songo, untuk menyebarkan agama Islam di Jawa. Lalu apa yang salah?

Mari kita terus introspeksi. Jangan merasa paling benar dan suci. Ingat, Allah SWT menciptakan Indonesia dengan penuh keberagaman. Dan keragaman tersebut merupakan anugerah yang harus kita bersama. Jangan sampai antar sesama saling menyalahkan, menghujat atau mengkafirkan, hanya karena dianggap bertentangan dengan paham yang mereka anut. Radikalisme jelas tidak sesuai dan relevan jika diterapkan di Indonesia.

Sekali lagi, penyebaran radikalisme di Indonesia tidak hanya dilakukan oleh JI, tapi oleh para simpatisannya yang tersebar di berbagai organisasi, lembaga dan tempat. Para petinggi JI yang telah menyatakan komitmennya ke NKRI, diharapkan juga bisa meyakinkan para simpatisannya, untuk meninggalkan jalan teror dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian. 

Hilangnya organisasi, belum tentu juga akan menghilangkan keyakinan yang telah diyakini. Namun jika dari pola pikirnya sudah dirubah, harapannya outputnya juga akan berubah. Baik itu dalam bentuk ucapan atau tindakan, semuanya mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian dan persatuan. Salam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun