Meski negeri ini sangat mengedepankan toleransi, dalam prakteknya masih saja ada oknum masyarakat yang melakukan diskriminasi. Ironisnya, praktek diskriminasi tersebut seringkali dilandasi oleh perbedaan agama, suku, atau latar belakang yang lain. Semestinya hal tersebut tidak perlu terjadi. Karena pada dasarnya negeri ini dibangun diatas fondasi keberagaman. Karena itulah saling menghargai merupakan keniscayaan yang tidak bisa dilawan di Indonesia.
Saling menghargai ini pun pada dasarnya juga dianjurkan oleh berbagai agama yang ada di Indonesia. Begitu juga kearifan lokal suku-suku yang tersebar dari Aceh hingga Papua, juga mengajarkan pentingnya saling menghargai antar sesama. Jika ada perbedaan pendapat atau pandangan, diselesaikan melalui jalur musyawarah. Bahkan di beberapa suku, juga ada upacara adat untuk mengukuhkan proses permintaan maaf dan upaya untuk saling menghargai antar sesama. Salah satunya adalah upacara bakar batu, yang masih dilakukan oleh para suku di Papua.
Namun, seiring perkembangan zaman, informasi berkembang begitu pesat. Berbagai informasi dari mana saja dan tentang apa saja, bisa sampai ke tangan kita dengan mudah dan cepat. Tak heran jika banyak pihak mulai melirik kecanggihan teknologi, untuk membantu penyebaran informasi. Sayangnya, kecanggihan teknologi ini justru disalahgunakan oleh oknum masyarakat tertentu untuk menyebarkan bibit kebencian, provokasi, berita bohong hingga propaganda radikalisme.
Kondisi inilah yang kemudian membuat banyak masyarakat yang tidak mendapatkan informasi secara valid, utuh dan obyektif. Apalagi informasi menyesatkan yang direkayasa oleh oknum tersebut disebarkan melalui wa group dan berbagai macam platform media sosial yang ada. Penyebaran secara personal dan segmented tersebut, membuat banyak masyarakat rawan terdistorsi dengan informasi yang menyesatkan tersebut. Salah satu informasi yang sering 'digoreng' adalah sentimen etnis. Hal tersebut tidak hanya terjadi di level masyarakat bawah, tapi juga merambah ke level pengambil keputusan.
Mari kita introspeksi bersama. Mari jaga generasi penerus ini dengan informasi-informasi yang positif, yang bisa memberikan inspirasi menuju kebaikan. Bukan inspirasi yang berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan. Karena hal semacam ini terus berulang, berulang dan berulang. Mendekati pemilu, sentimen SARA, provokasi begitu masif terjadi di dunia maya dan nyata. Hal tersebut terus terjadi sejak dulu.
Karena itulah, mari kita antisipasi bersama. Agar tahun politik dan pemilu di 2024 mendatang, dijauhkan dari segala bentuk provokasi dan diskriminasi. Sudah banyak contoh menyedihkan terkait hal ini. Mari kita membekali diri dengan memperkuat literasi digital. Mari kita bekali diri dengan pemahaman agama yang benar. Dan tak lupa bekali diri dengan pemahaman kebangsaan yang benar. Hal ini penting agar kita tidak mudah menjadi korban, dan bisa memberikan informasi serta pemahaman yang benar ke masyarakat. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H