Perubahan memang merupakan hal yang tak bisa dihindari dalam kehidupan manusia. Seperti bumi yang terus berputar, kehidupan ini juga terus berubah menyesuaikan perkembangan zaman. Gaya hidup dan pola pikir kita pun bisa jadi ikut berubah. Namun satu hal yang tidak boleh berubah adalah nilai kearifan lokal, yang sudah ada sejak dulu. Nilai-nilai luhur ini harus terus dijaga meski perkembangan zaman terus berubah. Kearifan lokal ini menjadi fondasi dari segala pengaruh buruk.
Mari kita lihat kehidupan berbagai suku yang ada di Indonesia, dari Aceh hingga Papua. Nilai-nilai kearifan lokal yang tetap dijaga, terbukti membuat kehidupan tetap seimbang. Namun jika kearifan lokal tidak dijaga, tidak hanya bencana alam yang akan terjadi, tapi juga bencana sosial. Masyarakat sibuk bertengkar sendiri, sibuk saling caci, sampai akhirnya meninggalkan asal-usulnya.
Banyak orang bilang nilai gotong royong hilang. Banyak orang bilang toleransi dan tepo seliro terus terkikis modernitas. Pernyataan itu bisa jadi benar. Karena tidak sedikit dari masyarakat yang tidak memahami budayanya sendiri. Tapi mereka justru lebih paham paham atau budaya luar. Contoh yang paling kelihatan adalah ketika sebagian orang lebih percaya khilafah dari pada Pancasila. Mereka lebih mengenal budaya Arab dibanding budaya Indonesia sendiri. Dikalangan anak muda, banyak paham gaya berpakaian barat, sementara baju nasional tidak ada yang paham.
Nilai-nilai kearifan lokal tidak hanya diwujudkan dalam setiap ucapan dan tindakan, tapi juga harus dimulai sejak dalam pikiran. Jika kita percaya bahwa dicubit itu sakit, maka janganlah mencubit orang lain. Jika kita tahu bahwa menebar kebencian, provokasi dan hoaks itu tidak baik dan berpotensi melahirkan konflik, semestinya tidak dilakukan. Jika kita sepakat bahwa tidak memakai masker di masa pandemi ini akan bisa membahayakan diri dan orang lain, semestinya semua orang disiplin mengedepankan protokol kesehatan.
Jika kita melihat kondisi sekarang ini, persoalan yang masih dihadapi oleh kita semua adalah politik identitas, radikalisme agama dan krisis pandemi. Ketiganya terjadi karena matinya akal sehat sebagian masyarakat. Ketiganya terjadi karena matinya nilai-nilai kearifan lokal dalam diri dan lingkungan. Dalam konteks pandemi misalnya, masih ada saja orang yang tidak percaya tentang covid-19. Karena tidak percaya dan merasa dirinya sehat, mereka tidak mengedepankan protokol kesehatan dan tidak mau di vaksin.
Maraknya provokasi, hate speech, hoaks dan propaganda radikalisme, telah membuat kondisi semakin runyam. Terlebih di media sosial tidak ada batasan, semua orang bisa berargumentasi, saling hujat bahkan saling menebar kebencian bisa saja. Meski dalam kehidupan nyata ada aturan yang mengatur, seperti UU ITE. Tapi nyatanya masih saja ada orang yang melanggar aturan tersebut.
Karena itulah, mari kita jadikan kondisi sekarang sebagai momentum untuk kembali ke pola pikir yang mengedepankan kearifan lokal. Mari kita lakukan transformasi baik secara pribadi atau kolektif. Hijrah dari buruk menjadi baik, hijrah dari negative menjadi positif harus dilakukan oleh semua pihak. Jangan mengedepankan perubahan pada tataran fisik, harus berbaju seperti ini, harus mempunyai style seperti itu, atau yang lainnya. Mari berubah mulai dari pola pikir kita, agar outputnya pun juga akan menjadi lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H