Seperti kita tahu, dari 3-20 Juli 2021, pemerintah memberlakukan ppkm darurat. Salah satu yang diatur selama ppkm darurat adalah menganjurkan untuk kembali beribadah dari rumah, karena tempat ibadah seperti masjid ditutup sementara selama ppkm darurat. Usai kebijakan ini, narasi menyesatkan terkait keagamaan kembali muncul, seperti yang terjadi pada tahun sebelumnya ketika pemerintah menutup sementara tempat ibadah untuk mencegah penyebaran covid-19.
Salah satu narasi yang mencuat di media sosial seperti ini, "PPKM Darurat diberlakukan, bukan hanya 14 hari tapi didesain agar bisa menjangkau saat pelaksanaan sholat Idul Adha 1442H, sejak tanggal 3 Juli sampai 20 Juli 2021. Bukan untuk menyemarakkan Idul Adha, tapi justru hendak membungkam pelaksanaan dan syi'arnya."
Ppkm darurat tidak pernah melarang aktifitas ibadah. Ppkm darurat hanya mengatur mekanisme ibadahnya saja. Mayoritas tokoh agama juga tidak pernah mempersoalkan, karena tujuannya murni untuk mencegah penyebaran covid-19. Pemerintah juga tidak pernah menyalahkan aktifitas peribadahan yang menyularkan virus. Jika adanya penyebaran virus melalui akifitas peribadahan di masjid, hal tersebut karena tidak adanya penerapan protokol kesehatan yang ketat.
Lalu, kelompok intoleran juga membenturkan dengan perayaan idul adha. Pemerintah dan tokoh agama telah mengeluarkan anjuran, bagi daerah yang masuk kategori merah dan oranye pandemi covid-19, dianjurkan untuk tidak melakukan sholat idul adha. Aktifitas pemotongan hewan pun juga ditiadakan, namun bisa disalurkan ke tempat-tempat yang memang membutuhkan. Hal semacam ini pun juga banyak dipersoalkan,karena tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Mari kita sudahi narasi yang menyesatkan ini. Mari kita fokuskan konsentrasi kita pada penanganan Kesehatan selama pandemi. Jika kita tidak bisa membantu, lebih baik kita berdoa memohon kepada Allah SWT, agar diberi kekuatan untuk bisa melawati pandemi ini. Jika yang berdoa tidak hanya satu orang, tapi 10 orang, 100 orang, atau seluruh umat muslim, tentu akan jauh lebih bermanfaat dari pada menyebarkan narasi menyesatkan di media sosial.
Pandemi butuh dukungan doa, butuh dukungan tenaga, dan butuh dukungan segalanya agar kita semua bisa saling menguatkan satu sama lainnya. Kebiasaan saling menghujat, saling menebar kebencian lebih baik mulai dihilangkan dalam pikiran. Mari kita ganti dengan pikiran positif, agar imun kita pun juga bisa ikut terjaga. Karena kebencian hanya akan melahirkan amarah. Dan amarah yang berlebihan akan bisa menurunkan imun. Mari kita saling introspeksi.
Jika ada ada yang salah, siapapun itu, silahkan dikritik tapi juga berilah pandangan yang tepat. Kritik semestinya tidak disertai dengan kebencian. Kritik harus disertai dengan referensi yang jelas, agar berujung pada solusi. Kritik yang dilandasi kebencian, hanya akan melahirkan amarah kolektif yang tidak hanya bisa memicu terjadinya konflik, tapi juga penurunan imun secara massal.
Mari kita berkaca dari angka kasus positif covid harian di Indonesia, yang jumlahnya sudah mencapai lebih dari 38 ribu. Sementara Menko Luhut Binsar Pandjaitan pernah mengatakan, ambang batas kemampuan negara menghadapi lonjakan covid-19 ini adalah jika kasus harian mencapai 40-50 ribu per hari. Ini artinya, tinggal sedikit lagi menyentuh angka ambang batas. Bukan untuk menakuti, tapi ini untuk mendorong kesadaran Bersama, agar kita tetap mengedepankan protokol Kesehatan, agar kita tetap saling bantu, agar kita saling menguatkan bukan saling melemahkan. Pandemi memang takdir dari Allah SWT, tapi menjadi tugas kita bersama untuk tetap berusaha menghadapi pandemi ini. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H