Perempuan di puasaran terorisme bukan merupakan hal yang baru di Indonesia. Mungkin diantara kita masih ingat, Dian Yulia Novita. Pada 2016, perempuan tersebut akan dijadikan pelaku bom bunuh diri di Istana Negara, dan berhasil ditangkap oleh Densus 88 di Bekasi. Kini, Dian masih mendekam di penjara akibat perbuatannya tersebut. Dian diketahui ketika itu baru menikah, dan mendapatkan doktrin yang salah dari suaminya.
Pelaku bom gereja di Surabaya, pada 2018 silam, juga tak lepas dari perempuan yang mengajak anak-anaknya menjadi pelaku bom bunuh diri. Pada tahun 2018, dua perempuan, Siska dan Dita juga ditangkap karena akan melakukan penyerangan ke Mako Brimob Depok. Keduanya juga merupakan anggota ISIS.
Bom di gereja Katedral Makasar, juga melibatkan peran perempuan. Pelaku merupakan pasangan yang baru menikah 6 bulan. Sungguh sangat ironis. Kemarin, kembali terulang. ZA, perempuan milenial berusia 25 tahun ini, berhasil masuk ke Mabes Polri dengan airgun berupa pistol. Perempuan muda akhirnya ditembak petugas setelah menodongkan pistolnya ke petugas.
Keterlibatan perempuan di pusaran terorisme diperkirakan terus alami peningkatan. Jumlah tahanan dan narapidana perempuan yang terlibat dalam terorisme dalam kurun waktu 2000-2020 mencapai 39 orang. Jika melihat dari yang telah terjadi, peran perempuan dalam pusaran terorisme ini memang telah mengalami pergeseran. Dulu, sekitar tahun 2016, perempuan seringkali terlibat dalam pembawa pesan, perekrutan, mobilisasi, alat propaganda dan regenerasi ideologi. Namun seiring perkembangan zaman, perempuan mulai berubah menjadi pelaku bom bunuh diri, perakit bom atau penyedia senjata.
Lalu, kenapa perempuan begitu rentan? Mungkin saja karena faktor personal. Karena telah terjajah pemikirannya dengan pemahaman Islam radikal. Karena doktrin yang salah tersebut, membuat perempuan berani melakukan aksi bom bunuh diri. Ketika dikatakan perempuan harus ikut suami, perempuan seringkali mengalah. Apalagi jika disertai ikut suami akan masuk surga. Benar, dalam Islam pun perempuan dianjurkan untuk mengikuti suami. Namun, jika perilaku suami cenderung ke terorisme, apakah harus diikuti? Memang bagi perempuan di pusaran terorisme tidak mudah. Seakan mereka tidak punya kekuatan.
Faktor lain adalah adanya ketimpangan sosial, ketidakadilan dan diskriminasi yang dirasakan perempuan. Begitu juga dengan perempuan yang menjadi korban pemerkosaan atau pelecehan seksual, berpotensi menjadi korban terorisme karena sudah ada bibit dendam di dalamnya. Ketika logika dijungkir balikkan sementara perempuan tidak mempunyai literasi yang kuat, dan adanya anggapan perempuan harus ikut suami, maka terjadilah peluang perempuan menjadi pelaku tindakan teror seperti yang telah terjadi. Posisi perempuan yang lemah, seringkali dimanfaatkan menjadi target indokrinasi kelompok teror.
Propaganda radikalisme yang aktif dilakukan ISIS, memang bisa menyasar ke semua kalangan, termasuk perempuan dan anak-anak. Tak heran jika para perempuan mulai muncul keterlibatan dalam aksi terorisme, bahkan ada yang menjadi pelaku tunggal. Mari kita saling waspada dan melindungi keluarga dari segala pengaruh buruk bibit radikalisme dan terorisme. Anggapan jihad dengan cara bom bunuh diri akan mati syahid, akan masuk surga adalah salah. Pemahaman seperti ini tak perlu diikuti. Semoga ini bisa menjadi pembelajaran buat kita semua. Salam literasi dan toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H