Di era sekarang ini, mungkin hampir semua orang mengenal media sosial. Jumlah pengguna media sosial di Indonesia angkanya terus mengalami kenaikan. Hal ini tak bisa dilepaskan dari peningkatan jumlah pengguna internet. Diperkirakan, hingga Januari 2021 jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta orang. Sementara untuk pengguna media sosial, jumlahnya diperkirakan mencapai 170 juta orang Indonesia. Angka ini mengalami kenaikan 10 juta orang dibandingkan tahun sebelumnya.
Besaran angka ini pasti akan terus bertambah seiring berkembangnya teknologi. Ya, kemajuan teknologi memang telah merubah perilaku dan gaya hidup seseorang. Media sosial tidak hanya digunakan sebagai media untuk mencari teman, mencari informasi, tapi juga sebagai ajang untuk mencari pekerjaan, mendapatkan pekerjaan, jual beli dan masih banyak aktifitas lainnya. Namun media sosial tidak hanya menawarkan sisi positif, tapi juga menawarkan sisi negative akibat perilaku negative manusia. Bukan salah media sosialnya, tapi salah manusianya yang menyalahgunakan media sosial untuk aktifitas yang tidak baik.
Maraknya penyalahgunaan media sosial untuk kepentingan yang tidak baik ini, harus menjadi perhatian semua orang. Karena tidak sedikit yang menggunakannya untuk menyebar hoaks dan ujaran kebencian. Sementara pengguna media sosial terus melangami peningkatan. Tidak hanya digunakan oleh anak-anak, tapi juga dewasa. Tidak hanya digunakan masyarakat biasa, kementerian dan lembaga pun juga menggunakannya. Karena banyak aktifitas masyarakt ada di media sosial, maka segala ucapan dan perilaku yang ada di media sosial semestinya juga terjaga.
Seperti kita tahu, praktek penyebaran hoaks di internet jumlahnya sangat signifikan. Sub Direktorat Pengendalian Konten Internet Ditjen Aplikasi Informatika Kominfo menyebut ada 1.387 hoaks selama pademi covid-19 di Indonesia. Hoaks sebanyak itu tercatat sejak Maret 2020 hingga 26 Januari 2021. Bayangkan, selama pandemi saja tidak menyurutkan para oknum masyarakat untuk terus menyebarkan hoaks. Sungguh sangat ironis. Di masa pandemi, masih saja ada orang saling menyalahkan, saling mencari kesalahan, hingga saling caci satu sama lain.
Sebelum pandemi, hoaks juga marak digunakan untuk kepentingan politik. Di masa pilkada atau pilpres, hampir setiap hari hoaks untuk saling menjatuhkan pasangan calon terus bermunculan. Bahkan ada juga yang melakukan black campaign, agar elektabilitas dan persepsi publik terhadap calon tersebut jatuh. Tanpa disadari, praktek penyebaran hoaks yang disertai ujaran kebencian ini terus terjadi hingga saat ini.
Sadar atau tidak, penyebaran hoaks dan kebencian ini tidak bisa dilepaskan dari upaya kelompok provokator yang terus melakukan propaganda di dunia maya. Kelompok ini seringkali merasa paling benar dan menyalahkan pihak-ihak yang berbeda pandangan. Bahkan yang berbeda keyakinan pun seringkali disebut sebagai kafir atau sesat. Padahal, berbeda itu merupakan keniscayaan di Indonesia. Tuhan pun menciptakan manusia juga saling berbeda satu sama lain. Karena itulah antar manusia dianjurkan untuk saling mengenal dan melakukan interaksi.
Hoaks dan ujaran kebencian memang terus berkembang menyesuaikan zamannya. Dulu orang mengenal adu domba, kambing hitam, kini dikenal sebagai hoaks. Apapun itu kepentingannya, hoaks dan hate speech harus disudahi. Tidak boleh antar sesama saling membenci. Mari perkuat literasi di era digital ini, agar kita bisa memilah, mencerna atau memfilter setiap informasi yang masuk. Agar kita tidak mudah percaya jika ada seseorang yang membaya ayat-ayat suci dalam setiap kesempatan. Pahamilah segala sesuatnya berdasarkan konteksnya, jangan menelan secara mentah-mentah. Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H