Mohon tunggu...
Herry Gunawan
Herry Gunawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - seorang pemuda yang peduli

Saya seorang yang gemar fotografi dan travelling

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dakwah Harus Menenangkan, Bukan Meresahkan

5 Desember 2020   09:34 Diperbarui: 5 Desember 2020   09:40 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkan mendengarkan atau melihat dakwahnya Gus Dur? Atau pernahkah mendengarkan dakwahnya KH Zainuddin MZ yang dulu sering diputar di masjid-masjid? Pernahkah mendengarkan bagaimana dakwahnya Cak Nun? Gus Mus? Atau mungkin juga pernah mendengarkan dakwahnya kyai kampung, yang tidak pernah lelah berkeliling untuk memberikan keteduhan. Jika belum, silahkan browsing, silahkan mencari, silahkan bertanya, bagaimana dakwah yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tersebut.

Kenapa contoh diatas perlu penulis munculkan? Karena semestinya para tokoh-tokoh yang merasa dirinya paham agama, paham segalanya, bisa belajar dari tokoh kampung yang low profile tersebut. Dakwah yang para guru ini sangat menyenangkan. Orang rela duduk berjam-jam, guyub, rukun, bisa saling berdampingan tanpa harus mempertanyakan asalnya dari mana dan apa latar belakangnya.

Kini, Indonesia dilanda virus covid-19 seperti yang terjadi di banyak negara. Tentu saja pengajian yang dilakukan dengan pengumpulan massa, tidak bisa dilakukan saat ini. Pemerintah telah melarang untuk sementara ini segala aktifitas yang mengumpulkan massa dalam jumlah besar, tidak berjarak, dan tidak menggunakan masker. Karena itulah dakwah sekarang banyak dilakukan secara virtual.

Jika melihat yang terjadi belakangan ini banyak membuat masyarakat miris. Para pengusung kebenaran saling mengklaim kebenaran. Tokoh yang satu merasa benar, yang lain merasa benar, yang lain begitu juga. Akibatnya, para pengikutnya yang sudah fanatik, tidak bisa membedakan mana yang benar dan tidak. Terlebih dakwah yang dimunculkan mengandung pesan-pesan kebencian, provokasi, menghujat dan segala macamnya.

Belakangan, banyak membicarakan perilaku salah satu ormas yang seringkali dianggap mengkhawatirkan. Semangat revolusi akhlak yang selalu digaungkan, nyatanya tidak sebanding dengan konten-konten dakwah yang seringkali menebarkan provokasi dan kebencian. 

Gema takbir yang sering disuarakan, tidak selaras dengan perilakunya yang cenderung berperilaku intoleran. Kerumunan massa yang terjadi belakangan ini, dipersoalkan aparat keamanan karena ada dugaan tindak pidana. Bahkan, sang imam dikabarkan juga positif covid, yang membuat reuni tersebut dilakukan secara virtual.

Mari kita sudahi penyebaran provokasi dan kebencian melalui forum-forum dakwah. Mari kita lakukan dakwah secara santun dan menyenangkan. Esensi dakwah adalah agar kita bisa mendapatkan ilmu, mendapatkan pemahaman baru, dan bisa kita jadikan introspeksi agar lebih dekat dengan Tuhan YME. 

Seruan jihad, provokasi dan kebencian direspon oleh para simpatisan secara intoleran. Telah terjadi persekusi di rumah salah satu menteri di Madura. Seruan jihad juga direspon simpatisannya dengan mangganti azan. Dan yang mengerikan, seruan dia juga direspon oleh kelompok MIT, pimpinan Ali Kalora.

Jika memang benar ingin menyebarkan akhlak yang baik, maka perbaikilah ucapan dan perilaku yang ada dalam diri kita. Karena akhlak itu pada dasarnya datang dari kemuliaan diri, bukan datang dari turunan tokoh atau Nabi sekalipun. Mari kita isi dakwah kepada umat dengan cara-cara yang menyenangkan, seperti yang dilakukan oleh Wali Songo. 

Dakwah bisa dilakukan melalui musik, wayang, pendekatan budaya, dan tidak ada unsur paksaan. Dakwah juga tidak ada niat untuk saling menghilangkan budaya atau agama yang telah ada. Dalam konteks Indonesia, Islam pada dasarnya merupakan agama pendatang. Namun dalam perkembangannya masyarakat Indonesia menjadi pemeluk Islam terbesar, juga tidak bisa dilepaskan dari kekuatan dakwah santun dan menyenangkan tadi. Semoga bisa jadi renungan bersama. Salam damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun