Sejak awal tahun 2020, pandemi covid-19 telah masuk ke Indonesia. Dalam waktu yang relative singkat, jumlah kasus positif covid di Indonesia berkembang begitu pesat. Bahkan, di bulan Agustus ini sudah mencapai ratusan ribu. Hingga saat ini, rata-rata kasus positif baru per harinya mencapai diatas seribu kasus. Beberapa kali sempat diatas 2000 kasus. Dampak dari pandemi ini, tidak hanya mengancam nyawa, tapi juga merusak perekonomian. Banyak negara sudah masuk ke dalam jurang resesi. Di Indonesia sendiri, pertumbuhan ekonomi di kuartal kedua kemarin, telah terkontraksi minus 5,32 persen. Jika kuartal ketika terus minus, maka Indonesia akan menyusul negara lain masuk ke jurang resesi.
Karena itulah, wacana pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mulai bergema dalam beberapa bulan terakhir. Negeri ini tidak mau perekonomiannya terus terpuruk. Namun disisi lain, juga tidak mau angka penyebaran covid terus bertambah. Keduanya harus berjalan beriringan satu dengan yang lain. Keduanya harus saling sinergi. Dari masyarakat paling bawah, pengusaha, politisi, hingga presiden harus mempunyai komitmen yang sama dalam mengedepankan protokol kesehatan.
Hidup dengan protokol kesehatan itulah yang kemudian dimaknai sebagai new normal. Sebuah kondisi yang harus disertai dengan perubahan pola pikir dan perilaku. Sebuah kondisi dimana aktifitas tetap harus terjadi, tapi menjaga jarak, menggunakan masker dan mencuci tangan tetap harus diutamakan. Dengan adanya protokol tersebut, diharapkan penyebaran virus tetap bisa dikendalikan.
Faktanya memang tidak seindah yang diharapkan. Belum semua masyararakat mengedepankan protokol kesehatan. Bahkan masih ada yang menilai covid merupakan settingan, yang sengaja dimunculkan untuk mengalihkan sesuatu. Mari kita berpikir logis. Mari kita kedepankan kemampuan literasi. Mari buka pola pikir kita dan jangan merasa paling benar sendiri. Kita akan sulit melaksanakan new normal, jika diantara kita masih saling hujat, saling caci, dan mencari kesalahan. New normal akan menjadi hal yang mengkhawatirkan, jika kita merasa covid tidak ada, atau merasa covid bukanlah virus yang berbahaya.
Sekali lagi, perlu komitmen bersama semua pihak untuk serius mewujudkan new normal. Mari kita belajar dari semangat tahun baru hijriyah yang mendorong semua umat muslim melakukan hijrah. Jika di era Rasulullah SAW hijrah bisa diartikan secara fisik, perpindahan dari Mekah ke Madinah. Dalam konteks sekarang, hijrah juga bisa dimaknai dalam tatanan pola pikir. Mari kita rubah pola pikir kita untuk menuju tatanan yang lebih baik. Mari kita rubah pola pikir yang buruk di masa pandemi ini, menjadi pola pikir baru yang bisa membawa kita pada tatanan yang lebih baik. Semoga ini bisa menjadi introspeksi buat kita semua. Salam sehat selalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H