Tak dipungkiri ujaran kebencian di dunia maya saat ini massif terjadi. Belakangan karena kepentingan politik, hate speech sengaja digunakan untuk menjatuhkan elektabilitas calon tertentu.Â
Tidak hanya digunakan untuk kepentingan pilkada dan pemilihan anggota legislative, pemilihan presiden dan wakil presiden pun, juga banyak bertebaran ujaran kebencian di dunia maya. Bahkan, setelah proses pemilihan selesai pun, ujaran kebencian masih sering kita temukan di media sosial.Â
Tidak hanya masyarakat biasa, tanpa disadari para tokoh masyarakat, elit politik, tokoh agama, dan tokoh yang lain ikut larut dalam pusaran kebencian dunia maya ini.
Kondisi seperti diatas, sadar atau tidak telah terjadi setiap hari, setiap jam, dan setiap detik. Atas dasar berbagai kepentingan, seseorang bisa dengan mudah saling membenci satu dengan yang lain. Terlebih jika sudah dibumbui alasan politik, alasan agama, ataupun alasan lain yang bisa dengan mudah memprovokasi orang lain.Â
Pada titik inilah, bibit radikalisme itu bisa muncul dan bisa menyebar kemana saja. Media sosial, broadcast message, dan masih banyak media teknologi yang digunakan untuk menyebarluaskan bibit radikalisme. Dan radikalisme online, saat ini telah menyasar generasi muda dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi.
Di penghujung Ramadan kemarin, seorang pemuda asal Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah nekat melakukan percobaan bom bunuh diri di salah satu pos polisi. Upaya peledakan diri itu gagal, dan sekarang si pemuda ini sedang menjalani perawatan di rumah sakit.Â
Setelah diselidi, pemuda berinisial RA itu merupakan simpatisan ISIS. Meski usia masih 22 tahun, ternyata tak menyurutkan keinginannya untuk melakukan aksi teror, seperti yang dilakukan oleh kelompok ISIS.Â
Bom yang dirakit berdasarkan tutorial yang dia dapatkan melalui dunia maya itu, merupakan bukti adanya niat secara sadar dari RA. Dia telah meradikalisasi dirinya sendiri melakukan baiat secara online ke kelompok ISIS.
Tidak hanya RA yang terpapar radikalisme online, beberapa temannya yang kemudian ditangkap polisi beberapa hari setelah kejadian, juga mengenali radikalisme melalui dunia maya. Contoh sebelumnya juga banyak terjadi.Â
Pada 11 Februari 2018, seorang pemuda juga berusaha menyerang di gereja Santa Lidwina Bedog, Sleman, Yogyakarta. Kasus yang sama juga terjadi di Medan, Sumatera Utara. Semuanya terpapar radikalisme online, dan memutuskan melakukan aksi teror setelah hilang logikanya karena terus terprovokasi pesan radikal.