Beberapa saat setelah pengumuman perolehan suara pemilihan presiden dan wakil presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejumlah massa menggelar aksi unjuk rasa damai di depan gedung Bawaslu.Â
Peserta aksi yang diberi toleransi polisi hingga malam hari, akhirnya membubarkan diri setelah menjalankan shalat tarawih di depan gedung Bawaslu. Namun, pada malam harinya nampaknya mulai berganti pengunjuk rasa di depan kantor Bawaslu.Â
Mereka mulai melakukan provokasi dengan merusak kawat berduri yang berujung bentrokan dengan petugas. Bentrokan terus memanjang hingga dini hari tadi. Bahkan, beberapa titik di asrama Brimob yang terletak Jl. KS Tubun, Jakarta Barat tak jauh dari pasar tanah abang, juga menjadi aksi amuk massa dengan cara dibakar.
Lagi, contoh buruk dipertontonkan oleh sebagian oknum masyarakat. Bulan Ramadan semestinya diisi dengan kebaikan, tapi justru diisi dengan amuk massa yang tidak terima dengan hasil real count KPU. Sungguh sangat ironis.Â
Para elit politik diharapkan bisa meredam gerakan aksi massa yang ada dibawah, agar menghentikan segala bentuk tindakan anarkistis. Sebelumnya, aparat keamanan telah mengingatkan, aksi 22 Mei 2019 rawan ditunggangi oleh pihak ketiga. Pihak yang dimaksud adalah kelompok radikal dan jaringan terorisme.Â
Polisi berhasil membongkar rencana sejumlah aksi teror, yang akan dilakukan pada 22 Mei 2019. Dan ternyata, pada hari pelaksanaan unjuk rasa, ada pihak-pihak lain yang terus melakukan provokasi yang berujung pada bentrokan di kawasan Tanah Abang dan sekitarnya.
Rusuh menolak hasil pemilu pada 21-22 Mei 2019 semestinya tidak perlu terjadi. Karena dampak dari kerusuhan tidak hanya membuat keamanan negeri terganggu, tapi juga berpotensi mengganggu stabilitas perekonomian. Indeks harga saham gabungan merespon negative dan rupiah terus melemah.Â
Namun, setelah tanggal 22 Mei, keduanya kembali menguat. Ini artinya, kerusuhan apapun itu bentuknya memberikan sentimen negative kepada pasar. Kerusuhan bisa membuat investor lari, dan jika investor lari, maka pertumbuhan ekonomi yang diharapkan akan sulit terjadi. Tentu masih banyak lagi dampak yang harus dirasakan, jika kerusuhan terus terjadi.
Mari kita introspeksi bersama. Mari kita jaga ucapan dan perilaku kita, agar tidak memancing emosi dan provokasi.Â
Karena provokasi people power, pihak-pihak yang menginginkan negeri ini tidak aman langsung bermunculan. Hanya karena persoalan kecewa dengan hasil pilpres, memprovokasi sampai akhirnya menimbulkan korban nyawa.Â
Dan kalau sudah begini, elit tidak ada satupun yang bertanggung jawab. Semua akan sibuk saling menyalahkan satu dengan yang lain. Dan kita sebagai masyarakat, lagi-lagi menjadi pihak yang dirugikan. Semoga hal ini bisa membuat kita semua sadar dan membuka mata. Jangan mau diprovokasi atas nama apapun dan dalam bentuk apapun.