Indonesia memang merupakan negara yang penuh dengan keragaman suku, budaya, agama dan bahasa. Karena keragaman itulah, membuat negeri ini sangat mengedepankan toleransi antar sesama, sejak awal didirikan sebagai negara. Bahkan, nilai-nilia toleransi itu sebenarnya sudah ada jauh sebelum didirikan negara Indonesia. Sayangnya, nilai-nilai toleransi itu saat ini terus diganggu dengan menyebarnya bibit radikalisme dan intoleransi di dunia maya. Dan penyebaran bibit radikalisme yang cenderung mengadopsi budaya kekerasan itu, dulunya seringkali disebarkan oleh kelompok ISIS melalui propagandanya di media sosial.
Beberapa waktu yang lalu, ISIS telah dinyatakan kalah seratus persen. Organisasi teror itu telah habis dihancurkan oleh tentara Suriah dengan bantuan negara-negara koalisi. Namun demikian, tumbangnya ISIS bukan berarti menghilangkan bibit radikalisme yang sudah terlanjut diyakini oleh pengikutnya dan disebarluaskan melalui dunia maya. Dan bibit kekerasan itulah yang saat ini menjelama melalui ujaran kebencian melalui dunia maya. Hate speech yang dibalut dengan nilai-nilai sosial, agama dan sebagainya itu, berpadu dengan hoaks alias berita bohong, yang membuat kondisi semakin runyam.
Tak dipungkiri, kecanggihan teknologi yang berkembang saat ini turut membantu penyebaran hoaks dan ujaran kebencian begitu cepat. Kondisi ini diperparah dengan perilaku masyarakat yang lebi sering melakukan sharing, tanpa melakukan saring terlebih dulu terhadap informasi yang mereka dapatkan. Perilaku yang masih menjadi kebiasaan ini, harus segera disudahi. Karena penyebaran informasi begitu pesat, maka masyarakat juga harus membekali diri dengan budaya literasi yang tinggi. Dengan literasi yang kuat, kita akan punyai filter dalam menyerap setiap informasi.
Sadar atau tidak, dengan maraknya ujaran kebencian di dunia maya, telah mempengaruhi nalar berpikir banyak orang. Tidak sedikit orang yang menganggap dirinya paling benar, menilai orang lain sebagai kafir, darahnya halal dan segala macamnya. Nalar semacam ini tak jauh berbeda dengan nalar berpikir kelompok ISIS yang menganut ideologi kekerasan seperti yang diadopsi kelompok khawarij. Dan dalam perkembangannya, ideologi dan kelompoknya terus berkembang. Ketika ISIS tumbang, maka akarnya juga harus dicabut. Dan sadar atau tidak, akar-akar itu banyak tertanam dalam pikiran kita semua. Dan yang bisa mencabut akar-akar itu adalah kita sendiri.
Saat ini, banyak sekali bibit radikalisme dibalut dengan hoaks dan ujaran kebencian dimunculkan di media sosial. Apalagi ketika memasuki tahun politik seperti sekarang ini, banyak orang yang tidak sadar. Lihat saja broadcast message yang masuk di hp kita masing-masing, sudah mulai banyak didominasi oleh ujaran kebencian. Baik itu ditujukan kepada paslon, partai, ataupun kelompok tertentu. Jadilah generasi yang pintar sekaligus cerdas. Jadilah generasi yang logis tapi juga toleran. Semuanya itu diperlukan, agar demokratisasi negeri ini tercedfireai dengan bibit kekerasan yang berbalut hoaks dan ujaran kebencian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H