Setiap kampus di perguruan tinggi di Indonesia, terdiri dari mahasiswa dengan berbagai macam karakter. Kampus-kampus di Yogyakarta misalnya, Anda akan mudah menemukan mahasiswa dari berbagai daerah. Mulai dari Aceh hingga Papua, bisa terlihat di berbagai kampus di Indonesia. Ini merupakan hal yang lumrah. Karena kampus pada dasarnya merupakan tempat netral, yang harus bisa dijadikan tempat bagi siapa saja. Artinya, kampus merupakan tempat yang mengedepankan keberagaman. Meski kampus tersebut berada di Jawa, mahasiswa dari Papua, Kalimantan, atau daerah lain juga tetap bisa menempuh ilmu di kampus tersebut.
Sayangnya, masih ada kampus tidak sepenuhnya menjadi tempat netral. Setelah organisasi ekstra kampus dilarang beraktifitas di dalam kampus, membuat paham radikalisme dan intoleransi tumbuh subur di berbagai kampus di Indonesia.Â
Beberapa penelitian mengatakan, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) seringkali djadikan media oleh kelompok tertentu untuk menyebarkan paham radikal.Â
HTI, organisasi yang telah dilarah oleh pemerintah, sempat menguasai berbagai kampus di Indonesia. Deklarasi dukungan khilafah terus menggema di berbagai perguruan tinggi.Â
Puncaknya, ribuan mahasiswa dari berbagai kota menyatakan deklarasi sebagai bentuk dukungan terhadap negara khilafah. Ironisnya, deklarasi ini justru dilakukan di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia.
Di beberapa kampus lain, tidak sedikit para mahasiswa yang terpapar ideologi radikal. Tidak sedikit pula diantara mahasiswa yang memilih bergabung dengan kelompok radikal dan intoleran. Bahkan, mayoritas para pelaku teror saat ini didominasi oleh generasi muda, yang rata-rata sempat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Gerakan kelompok radikal di dalam kampus ini terus menguat, seiring mulai berkurangnya budaya diskusi yang selama ini coba ditawarkan oleh organisasi ekstra kampus.
Lalu, apa masalahnya jika mahasiswa terpapar paham radikal? Mereka akan merasa dirinya paling benar sendiri. Mereka juga akan mempersoalkan keberagaman yang ada, karena merasa sebagai pihak yang paling benar. Dan jika hal ini terus dibiarkan, paham radikalisme akan akan terus menguasai kampus.Â
Kemenristekdikti mengakui, institusi pendidikan mempunyai peluang terpapar radikalisme. Pada Juni 2018 yang lalu, Densus 88 menangkap tiga terduga teroris di Universitas Riau. Ketika polisi melakukan penggeledahan, ditemukan dua bom pipa yang siap diledakkan. Ketiga pelaku ternyata berniat akan meledakkan DPRD Riau dan DPR.
Dalam penelitian BNPT dijelaskan, paparan radikalisme di perguruan tinggi di Indonesia sudah terjadi sejak 30 tahun lalu. Bahkan, menurut pernyataan Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Hamli seperti yang dimuat dalam majalah Tempo edisi 27 Mei -- 2 Juli 2018, dijelaskan bahwa seluruh kampus di Jawa sudah terpapar bibit radikal.Â
Sementara Alvara Research Center pada Oktober 2017 juga menyebutkan, sekitar 23,5 persen mahasiswa ketika itu menyetujui gerakan ISIS. Tak hanya itu. 23,4 persen diantaranya juga menyatakan setuju dan siap berjihad mendirikan khilafah. Penelitian ini melibatkan 1.800 responden di 25 universitas se-Indonesia.Â
Kondisi di tahun 2018 ini, bisa jadi sudah mengalami perubahan. Namun yang jelas, menjadi tugas kita bersama untuk terus mengingatkan, bahwa kampus harus tetap netral dan terbebas dari segala kepentingan, termasuk paham radikalisme dan intoleransi.