(Albert Purba)
- John Grisham dari Tel Aviv
      Konflik Israel-Palestina yang belakangan ini semakin sengit setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang lalu, membuat kita bertanya-tanya: Apakah mungkin kedua bangsa ini dapat hidup berdampingan dengan damai? Sudah begitu banyak darah yang tumpah dan nyawa manusia tak ubahnya debu di kaki para politisi dan tentara atau pejuang kemerdekaan. Hanya dalam dua bulan perang, angka kematian di kedua belah pihak sudah mendekati 19.000 jiwa. Untuk melakukan semua itu biaya yang dikeluarkan untuk  membeli atau memproduksi senjata dan alat perang lainnya bernilai miliaran dolar.
      Sesengit apa pun permusuhan dan sepanas apa pun konflik, tetap saja yang terlibat adalah manusia yang memiliki tubuh dan jiwa. Tentara atau pejuang kemerdekaan tetaplah makhluk berperasaan sehingga sembari memanggul senjata atau mengendarai tak atau pesawat tempur, dirinya tetap bisa menikmati puisi dan karya sastra. Dalam esai ini, saya mengajak pembaca untuk menyelami jiwa seorang penulis Israel (yang tentu saja, karena wajib militer pernah jadi tentara). Sastrawan tersebut ialah Ram Oren; lahir pada tahun 1936 dan belajar ilmu hukum sembari juga seorang wartawan yang disegani di negerinya. Karyanya terjual jutaan di Israel sendiri, dan dia dijuluki "John Grisham" yang Israel.
- Rahasia Keluarga Sersan Udi Schagi
      Dalam tulisan ini saya mengulik konflik Israel-Palestina dari sebuah cerita pendek karya Ram Oren. Cerita ini termuat dalam kumpulan ceritanya "Apfelsinne aus Jaffa" yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman dan diterbitkan oleh Rumah Penerbitan Brunnen. Salah satu kisah yang dimuat di dalamnya ialah cerpen dengan judul: "Zwei Mtter"  dalam bahasa Indonesia berarti "Dua Ibu".
      Oren mengisahkan seorang tentara muda Israel bernama Sersan Udi Schagi. Tentara teladan, demikian menurut sang komandan, yang atas rekomendasinya akan dipromosikan untuk sekolah perwira. Dia dihukum karena melakukan pelanggaran atau tepatnya pembangkangan perintah atasan. Hukumannya berupa kurungan barak selama sebulan, tanpa ada hari libur dan akhir pekan. Ketika tiba waktunya dia bebas, Udi pulang ke rumah dan di meja makan dia menceritakan alasan kenapa dia tidak pulang selama itu. Ayahnya yang juga seorang tentara mendesaknya untuk bercerita. Dia berterus terang, bahwa dirinya mendapat hukuman, karena tidak melakukan perintah komandannya, yakni menghancurkan rumah keluarga Palestina yang anaknya adalah seorang teroris. Walau anak keluarga tersebut sudah ditembak mati, sang komandan masih saja menginginkan supaya kedua orang tuanya disuruh keluar dari rumah dan dengan bahan peledak rumah mereka diratakan dengan tanah.
      "Tidak melakukan perintah bukan sebuah kebodohan." kata ayah Udi.
      "Aku bukan menolak perintah itu, namun aku tidak sanggup melakukannya!" jawabnya.
      "Kenapa? Apa yang mengganggumu?" kejar sang ayah.
      Udi menerangkan kejadiannya dan mengatakan bahwa ketika ibu dari teroris itu melihatnya, dia terkesima sebab perempuan itu nampak sama seperti ibunya. Mata, warna kulit dan tinggi badan ibu si teroris yang sudah ditembak mati itu sangat menyerupai ibu Udi. Itulah alasan kenapa dia tidak sanggup melakukan perintah sang komandan.