Mohon tunggu...
Herfan Brilianto
Herfan Brilianto Mohon Tunggu... Lainnya - "Vision without realism is just a delusion."

"Vision without realism is just a delusion."

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jalan Berliku Indonesia Menjadi Anggota G20

15 November 2022   17:42 Diperbarui: 16 November 2022   11:36 1525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

“Mereka mengambil sehelai amplop cokelat dan pensil, kemudian berdebat, negara mana yang harus diundang untuk menjadi anggota G20. Mereka saling berargumen, mencoret nama sebuah negara dan menambahkan yang lain. Demikianlah, kedua menteri keuangan itu tanpa mereka sadari telah menyusun blueprint tata pemerintahan dunia selama beberapa dekade ke depan di sehelai amplop.”

-----

Tulisan ini merupakan bagian pertama dari tiga tulisan mengenai G20, dalam rangka menselebrasi capaian Indonesia sebagai Presidensi G20 di 2022 yang sekaligus memperlihatkan kebangkitan Indonesia sebagai salah satu negara emerging utama dalam tata ekonomi dan keuangan global.

Bagian pertama akan menceritakan mengenai sejarah G20, dan sejarah keterlibatan Indonesia dalam G20. Termasuk bagaimana sebenarnya Indonesia bisa menjadi anggota G20, sebuah hal yang sering menjadi pertanyaan banyak pihak.

Bagian kedua akan menjelaskan mengenai bagaimana forum G20 bisa menjadi forum utama dalam tata pemerintahan global yang berbasis multilateralisme non-inklusif. Bagaimana G20 bisa menjadi forum yang efektif dalam mengatasi berbagai persoalan global. Serta bagaimana kesuksesan G20 justru berpeluang menjadi pemicu irelevansinya.

Bagian ketiga akan menjelaskan mengenai tantangan dan keterbatasan yang dihadapi G20 saat ini, serta spekulasi penulis mengenai masa depan G20 dan tata pemerintahan global pasca gejolak 2022.

Penulis adalah mantan desk manager G20 Indonesia (2001–2012), dan mantan asisten Sherpa pertama Indonesia (2008–2012). Di tahun 2006 penulis ditunjuk mewakili Indonesia dalam G20 Study Group on the History of G20 yang dipimpin Kanada dimana Study Group itu melakukan berbagai wawancara dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembentukan G20.

Tulisan ini didasarkan pada Laporan Resmi Study Group kepada Para Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 ditambah dengan catatan penulis selama menjalani peran tersebut.

-----

Hari ini seluruh mata dunia tertuju kepada Indonesia. Para kepala negara dan perwakilan dari 19 negara plus 1 blok regional (Uni Eropa) yang tergabung ke dalam forum 20 ekonomi terbesar di dunia bertemu di Bali untuk membahas tantangan terpenting bagi umat manusia di bidang ekonomi dan sosial.

Pertemuan G20 identik dengan pertemuan untuk membahas krisis. G20 terbentuk pada tanggal 25 September 1999, ketika para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G7 memutuskan untuk mengundang counterpart mereka dari beberapa negara emerging utama di berbagai kawasan untuk bertemu di Berlin pada bulan Desember 1999.

Keputusan ini didasarkan pada lessons learnt dari krisis Asia di tahun 1998, yang membuktikan munculnya negara-negara sistemik baru dalam tata keuangan global yang semakin terkoneksi, sehingga pembahasan mengenai risiko sistem keuangan global dan cara mengatasinya tidak lagi bisa hanya didiskusikan oleh G7, namun harus melibatkan para aktor baru.

Lalu bagaimana Indonesia bisa menjadi salah satu negara anggota G20 yang dianggap sebagai forum yang menentukan arah kebijakan global, yang tidak lagi terbatas pada sistem keuangan, namun juga merambah berbagai dimensi lain seperti energi, pangan, ketenagakerjaan, pendidikan, bahkan sosial politik? G20 boleh dibilang adalah forum pengambil kebijakan terpenting dunia saat ini, yang keberadaannya sebagai forum eksklusif menjadi antitesa global governance model Perserikatan Bangsa-Bangsa yang inklusif.

Apakah Indonesia berjuang untuk dapat menjadi anggota G20? Atau hanya sekedar beruntung?

Pertanyaan ini tentunya tidak terlalu relevan bila kita melihat posisi Indonesia saat ini. Berdasarkan data terbaru dari IMF, Indonesia telah menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-17 di dunia dengan GDP mencapai 1,2 trilyun USD (berdasarkan current prices), dan bahkan peringkat ke-7 terbesar di dunia bila dilihat dari daya beli, dengan GDP lebih dari 4 trilyun USD (berdasarkan PPP). Dengan ukuran ekonomi sebesar itu, yang tentunya diikuti dengan bertambahnya soft dan hard power Indonesia dalam kancah pergaulan internasional, wajarlah bila Indonesia kini menjadi bagian de facto dan tak tergoyahkan dari G20. Apalagi selama menjadi bagian dari G20, Indonesia telah menjadi inisiator dan menghasilkan berbagai kebijakan global yang penting, terutama bagi negara berkembang dan emerging.

Namun dunia di tahun 1999 adalah masa yang sangat berbeda. Indonesia saat itu sedang terpuruk dan mengalami krisis multidimensi. Setahun sebelumnya, GDP Indonesia terkontraksi hampir sebesar 14 persen. Indeks saham jatuh hingga separuhnya, inflasi melonjak dan nilai tukar rupiah terjun bebas. Gelombang PHK menggoyahkan sendi-sendi perekonomian masyarakat. Lembaga rating mengkategorikan utang jangka panjang Indonesia sebagai junk bond yang menunjukkan ketidakpercayaan pasar global terhadap kemampuan Indonesia untuk keluar dari potensi default.

Di saat yang bersamaan, krisis ekonomi di Indonesia juga diiringi dengan gejolak sosial di berbagai wilayah yang membuat masyarakat internasional berspekulasi akan terjadinya Balkanisasi di Indonesia (mengacu kepada fenomena pecahnya negara multietnis seperti Yugoslavia menjadi negara-negara kecil). Indeks kohesivitas sosial di Indonesia saat itu berada pada level yang yang sangat rendah mendekati kategori sebuah negara gagal.

Dari aspek sistem keuangan dan ekonomi, Indonesia di tahun 1999 juga bukanlah sebuah negara yang terkoneksi dengan baik terhadap sistem keuangan global maupun global supply chain, bahkan relatif jauh bila dibandingkan dengan negara-negara tetangganya seperti Singapura, Malaysia dan Thailand yang lebih dahulu terglobalisasi. Dengan kata lain, asumsi bahwa Indonesia dipilih menjadi anggota G20 karena merupakan negara sistemik dalam sistem keuangan global juga menjadi tidak tepat.

Namun terlepas dari semua itu, sejarah mencatat bahwa Indonesia lah yang menjadi anggota G20, bukan Thailand, Malaysia, atau Singapura. Untuk mengetahui lebih jauh perjalanan Indonesia menjadi anggota G20 kita akan flash back ke masa lampau.

Dipicu Krisis 98

Di pertengahan bulan November 1997, di awal bergulirnya krisis keuangan di Asia, para pejabat kementerian keuangan dan bank sentral dari 14 negara Asia Pasifik termasuk Indonesia berkumpul di Manila untuk membahas upaya menstabilkan sistem keuangan kawasan yang mulai goyah saat itu. Salah satu keputusan pertemuan tersebut yang dikenal sebagai Manila Framework Group adalah menyepakati paket bantuan pendanaan internasional untuk membantu beberapa negara mengatasi krisis.

Namun hanya seminggu setelah pertemuan tersebut, semakin banyak yang menyadari bahwa krisis yang terjadi tidak hanya terbatas di kawasan Asia saja, namun merambat ke negara-negara emerging di berbagai belahan dunia, dan bahwa skala krisis yang terjadi jauh lebih masif dari yang dibayangkan. Karenanya dalam KTT APEC di Vancouver di akhir bulan November, Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong meminta kepada Presiden Amerika Serikat Bill Clinton untuk menyelenggarakan pertemuan khusus para menteri keuangan dunia untuk membahas krisis yang terjadi.

Sebagai tindak lanjut permintaan itu, Menteri Keuangan Amerika Robert Rubin, mengorganisir pertemuan G22 yang dihadiri G7 (Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Inggris, Jerman, Jepang dan Itali) dan 15 negara lain (Argentina, Australia, Brasil, China, India, Indonesia, Malaysia, Meksiko, Polandia, Russia, Singapura, Afrika Selatan, Korea Selatan, Thailand, dan Hong Kong SAR yang beberapa bulan sebelumnya baru saja dikembalikan oleh Inggris kepada China).

Pertemuan tersebut diadakan di Washington DC pada bulan April 1998 back to back dengan Pertemuan Spring Meeting IMF dan Bank Dunia. Pertemuan kedua G22 kemudian diadakan di tempat yang sama pada bulan Oktober 1998 back to back dengan Annual Meeting IMF dan Bank Dunia dengan tambahan empat negara yang diundang yaitu Belanda, Swiss, Belgia, dan Swedia.

Pertemuan G22 di sepanjang tahun 1998 itu menghasilkan tiga pemikiran utama terkait reformasi arsitektur keuangan internasional yang meliputi penguatan transparansi dan regulasi terkait disclosure, penguatan struktur pasar dan sistem keuangan, serta mekanisme burden sharing antara pemerintah dan swasta ketika terjadi krisis.

Walaupun pertemuan G22 mendapat kritik keras dari negara-negara yang tidak diundang, namun hasil pembahasan mereka relatif dapat diterima dan menjadi dasar bagi kedua institusi Bretton Woods (IMF dan Bank Dunia) untuk meluncurkan serangkaian inisiatif konkret terkait regulasi standar dan kode di industri keuangan, serta kerangka resolusi dan penanganan krisis. Salah satu implikasi pembahasan G22 yang tidak banyak diketahui orang adalah mendorong pembentukan Financial Stability Forum atau FSF (saat ini dikenal sebagai Financial Stability Board atau FSB) yang mempertemukan otoritas regulator dan pengawas sektor keuangan global.

Sejak awal, G7 memahami bahwa agar forum G22 memiliki dampak konkret bagi reformasi arsitektur keuangan global, mereka harus mencari cara untuk mengimplementasikan kesepakatan yang diambil melalui organisasi atau badan-badan internasional yang memang memiliki mandat untuk itu. Sebagai solusinya, maka G22 diusulkan untuk berubah menjadi IMF Interim Committee, agar kesepakatan yang diambil dapat langsung ditindaklanjuti oleh IMF.

Namun terdapat dua masalah yang membuat ide ini mati sebelum terjadi. Pertama adalah bahwa isu sektor keuangan yang dibahas di G22 banyak yang berada di luar mandat yang dimiliki IMF. Kedua adalah bahwa usulan keanggotaan Interim Committee tidak sama dengan keanggotaan G22, namun merefleksikan susunan Direktur Eksekutif IMF yang sejatinya merupakan struktur berbasis konstituensi yang didasarkan pada jumlah kepemilikan saham setiap anggota. Sementara di saat yang sama sedang ada perdebatan akibat tuntutan negara-negara emerging di Asia untuk meningkatkan representasinya di dalam IMF. Selain itu terdapat tuntutan internasional agar G22 juga meningkatkan inklusivitasnya dengan melibatkan negara-negara lain yang belum diundang.

Pada akhirnya G7 memutuskan untuk meneruskan format forum G22 dan memperluas keanggotaannya menjadi G33 dimana jumlah negara yang diundang ditambah dengan Belgia, Belanda, Arab Saudi, Chili, Pantai Gading, Mesir, Maroko, Spanyol, Swedia, Swiss dan Turki. G33 melakukan pertemuan pertama pada bulan Maret 1999 di Jerman.

Namun G33 ternyata hanya berumur singkat. Setelah pertemuan kedua di bulan April, G7 memutuskan untuk menghentikan forum tersebut.

Efektivitas versus Inklusivitas

Penyebab utama dihentikannya G33 adalah jumlah keanggotaan yang semakin besar ternyata justru menyulitkan forum untuk berdiskusi secara efektif dan menghasilkan keputusan yang berarti. Bayangkan bila sebuah negara mendapatkan waktu lima menit untuk berbicara, maka butuh hampir tiga jam agar setiap negara mendapatkan kesempatan berbicara untuk setiap topik permasalahan!

Belum lagi negara-negara berkembang yang diundang ke dalam forum pada umumnya tidak terbiasa dengan format pertemuan G7 dimana diskusi yang terjadi bersifat fluid dan saling merespon agar bisa memperoleh pemahaman yang utuh terhadap posisi satu sama lain. Negara berkembang yang diundang umumnya datang dengan membawa teks pidato yang sudah dipersiapkan sebelumnya sehingga sulit terlibat aktif dalam diskusi. Mereka juga biasanya datang dengan membawa jumlah delegasi yang besar sehingga menyulitkan tuan rumah untuk mengorganisasi dan memfasilitasi pertemuan.

Perdebatan sengit kemudian terjadi di G7 antara negara yang menginginkan agar G7 diperluas dengan melibatkan negara-negara emerging yang semakin penting dalam konstelasi global, dengan negara-negara yang mengkhawatirkan efektivitas pembahasan akan berkurang apabila semakin banyak pihak yang diundang. Terdapat juga negara yang mengkhawatirkan berkurangnya pengaruh internasional mereka apabila forum yang lebih luas terbentuk.

Salah satu pihak yang paling mendukung forum yang lebih inklusif adalah Menteri Keuangan Kanada saat itu, Paul Martin (yang kemudian menjadi Perdana Menteri Kanada 2003–2006). Paul Martin mencoba meyakinkan para menteri keuangan G7 bahwa berbagai krisis keuangan memperlihatkan perlunya penerapan standar internasional dalam sistem keuangan yang tidak hanya terbatas pada G7 namun harus diperluas kepada negara-negara lain yang semakin terkoneksi sistem keuangannya dengan G7.

Masalah utamanya, menurut Paul Martin, adalah bahwa negara-negara lain tidak akan mendengarkan apabila G7 mencoba mendikte mereka untuk mengikuti standar internasional tersebut. Negara-negara emerging itu harus diajak bicara dan ikut berperan menentukan prinsip-prinsip dan standar internasional agar mereka mau bergabung dalam standar tersebut. Lebih baik lagi bila negara emerging yang diajak bergabung adalah mereka yang memiliki peran sebagai pemimpin regional di kawasannya sehingga penerapan standar internasional akan terjadi secara lebih luas

Paul Martin menjadi pihak yang paling bertanggung jawab bagi pembentukan G20. Dia bergerilya menghubungi satu demi satu anggota G7 dan mencoba meyakinkan mereka.

Bahkan setelah negara-negara G7 akhirnya setuju akan perlunya forum yang lebih luas. Masalah selanjutnya adalah - siapa yang harus diundang? Isu ini sangat sensitif secara politis sehingga negara-negara G7 menyerahkan kepada Paul Martin untuk menyusun daftar negara-negara yang diusulkan untuk diundang sebagai anggota forum yang baru tersebut.

Hanya sehari setelah pertemuan kedua forum G33 di Washington DC, pada 27 April 1999 Paul Martin berkunjung ke kantor Lawrence Summers, Menteri Keuangan Amerika Serikat yang baru. Mereka berdiskusi mengenai kegagalan G33 dan perlunya forum baru yang lebih efektif namun juga inklusif. Mereka sama-sama mendukung forum yang lebih luas dari G7 namun tidak boleh sebanyak G33. Walaupun Paul Martin awalnya mengusulkan agar G-X, forum baru ini beroperasi sebagai forum kepala negara seperti G7, dia akhirnya menerima bahwa kondisinya belum memungkinkan sehingga forum ini harus dicoba terlebih dahulu di tingkat menteri keuangan dan gubernur bank sentral.

Perdebatan panjang terjadi ketika menentukan negara mana yang harus diundang. Lawrence Summers mengambil sebuah amplop cokelat besar berisi surat di mejanya, lalu meletakkannya di hadapannya di antara dirinya dan Paul Martin. Mereka lalu menuliskan di halaman belakang amplop satu demi satu nama negara yang muncul dalam pikiran mereka, dan mendiskusikan pro dan kontra negara itu sebagai calon anggota G-X.

Mereka saling berargumen, mencoret nama sebuah negara dan menambahkan yang lain. Demikianlah, kedua menteri keuangan itu tanpa mereka sadari telah menyusun blueprint tata pemerintahan dunia selama beberapa dekade ke depan di sehelai amplop cokelat.

Beberapa hal mengemuka dalam diskusi mereka. Prinsip utama yang menjadi baseline adalah perlunya memastikan keterwakilan setiap kawasan dalam forum baru tersebut, dan bahwa setiap kawasan harus diwakili oleh negara yang menjadi kekuatan ekonomi regional.

Setelah memasukkan semua negara anggota G7, Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jerman, Perancis, Jepang, dan Itali, kedua orang itu lalu memasukkan beberapa negara yang secara kasat mata memang telah menjadi kekuatan regional saat itu: Russia, China, India, Brazil, Meksiko. Afrika Selatan sebagai ekonomi terbesar di benua Afrika juga menjadi pilihan yang jelas.

Namun diskusi setelahnya menjadi lebih alot dan prinsip geopolitik lebih mengemuka. Khususnya mengenai kapasitas sebuah negara untuk berperan di kawasannya. Sama sekali tidak dibahas mengenai ukuran GDP calon anggota.

Untuk menambah keterwakilan Amerika Latin, walaupun secara sistem keuangan dan pemerintahan Chile dianggap lebih cocok dengan G7, namun Argentina yang akhirnya dipilih. Turki dan Arab Saudi dipilih untuk mewakili kawasan mereka, dan juga untuk memastikan keterwakilan dunia muslim dalam forum baru tersebut. Korea Selatan dipilih untuk menambah keterwakilan Asia Timur yang semakin besar peranannya dalam perekonomian global, sementara Australia dimasukkan sebagai perwakilan dari kawasan Oceania.

Perdebatan cukup panjang terjadi ketika membahas mengenai Eropa. Sudah banyak tekanan dari beberapa negara Eropa yang meminta untuk dimasukkan ke dalam forum baru tersebut. Namun kedua orang itu tidak mau menambah wakil Eropa yang dianggap sudah cukup banyak terwakili di G7. Sebagai solusinya, diusulkanlah untuk memasukkan Uni Eropa dan Bank Sentral Eropa untuk mewakili negara-negara Eropa non-G7.

Bagaimana dengan Indonesia? Krisis 98 yang dipicu krisis di Thailand yang merembet kemana-mana menunjukkan bahwa kawasan Asia Tenggara akan menjadi sangat penting dalam perekonomian dan sistem keuangan global. Secara interkoneksi, ekonomi dan sistem keuangan Thailand, Malaysia, atau Singapura lebih terkoneksi secara global, dan ketiga negara itu memiliki kapasitas cukup baik untuk berkiprah dalam forum internasional.

Namun Lawrence Summers dan Paul Martin sama-sama melihat, bahwa Indonesia adalah negara yang paling penting secara geopolitik di kawasan Asia Tenggara. Terlepas dari krisis yang sedang dihadapi dan berbagai prediksi pengamat internasional bahwa tidak akan ada lagi negara Indonesia di masa depan akibat proses Balkanisasi, Lawrence Summers dan Paul Martin melihat bahwa kapasitas Indonesia untuk setting agenda di kawasan paling besar dibandingkan negara-negara tetangganya. Pada akhirnya keduanya menyepakati bahwa Indonesia perlu dimasukkan sebagai calon anggota G20. Namun ada syarat yang perlu dipenuhi.

Pada saat itu, Indonesia sedang dalam masa transisi dari sistem pemerintahan terpusat menjadi demokrasi. Dalam waktu dua bulan ke depan Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum terbuka pertamanya setelah 32 tahun berada di bawah sistem Orde Baru. Tidak ada yang bisa menebak bagaimana Indonesia akan mampu melewati periode kritis tersebut dan seperti apa situasi politik yang terjadi.

Karenanya Paul Martin dan Lawrence Summers sepakat untuk menunda undangan kepada Indonesia untuk hadir di G20 hingga Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilihan umum dan pemerintahan baru terbentuk secara jelas.

Sejarah akhirnya mencatat, bahwa Indonesia berhasil menyelenggarakan pemilihan umum legislatif di bulan Juni 1999 dan anggota MPR yang terpilih kemudian memilih Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri di bulan Oktober 1999.

Segera setelah pemerintahan baru Indonesia terbentuk, Paul Martin mengirimkan undangan kepada Indonesia untuk menjadi anggota dan hadir di pertemuan pertama para menteri keuangan dan gubernur bank sentral G20 di Berlin, Jerman, tanggal 15–16 Desember 1999. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun