Saat Indonesia Raya berkumandang di Stadion Jalan Besar Singapura malam ini, pemandangan tak biasa terekam jelas kamera, sebelas anak muda yang mengenakan kostum garuda terlihat menangis sambil tak henti bernyanyi. Air mata tergambar jelas mengalir di pipi Evan Dimas, entah beban seberat apa yang menggelayut dibenak anak muda itu, tetapi kalau boleh menerka, Evan dan kawan-kawan sedang memikirkan kisruh sepakbola Indonesia yang tak tahu kemana akan berujung
Publik bola tanah air rasanya akan merasakan hal yang sama, bagaimana beratnya berjuang di lapangan hijau membawa nama baik bangsa saat sepakbola Indonesia tengah dikucilkan dunia.Kepala mereka tak akan tegak seperti biasa dan merasa ribuan tatap mata yang ada di pinggir lapangan sedang mempertanyakan ada apa dengan sepakbola Indonesia. Kita jelas-jelas lagi ditelanjangi, sebuah negeri penganut paham demokrasi terbesar di dunia ternyata tak mampu menyelesaikan masalah yang remeh temeh secara beradab. Anehnya mereka tak pernah diajak bicara, tidak pernah didengarkan. Saat mereka meratapi nasib, para pemegang kuasa tetap asik memainkan kebenaran mereka masing-masing
Apapun hasilnya, laga terakhir Timnas kita di Sea Games tak akan mampu memberi kepastian nasib mereka sebagai pemain profesional. Saat kaki mereka harus berlari dan memainkan emosi,nyatanya jiwa mereka hampa karena "nyawa" keduanya dicabut paksa atas nama ego para pihak yang berseteru di luar lapangan. Tak penting bagi mereka siapa yang lebih peduli, nyatanya mereka tak pernah mau duduk bersama untuk kebaikan dan masa depan sepakbola Indonesia
Meski miskin prestasi, harus kita akui sepakbola adalah obat mujarab bagi bangsa ini untuk sejenak melupakan kesulitan hidup. Meski selalu diguncang konflik nyatanya sepakbola tetap menjadi pemersatu dan ladang penghidupan banyak orang. Sungguh ironis kalau semuanya dibuat rumit dengan meninggalkan sportivitas yang selalu mereka dengungkan kepada para pemain sepakbola
Sepakbola membawa banyak harapan tetapi bebalnya sebagian dari kita membuat bola yang bundar menjadi berubah bentuk, bisa segitiga,segilima,jajaran genjang atau bisa berubah jadi apa saja sesuai keinginan mereka yang paling merasa berhak mengurusi si kulit bundar
Kalau saja semua memandangnya bola itu bundar rasanya tak ada yang tak bisa diselesaikan. Bicaralah tuan-tuan jangan hanya bersengketa di media masa, tidaklah kasihan kepada mereka yang menggantungkan nasibnya dari olahraga ini. Kalau tetap saja berkelahi, tak ada lagi harapan untuk menjadi bangsa yang berprestasi dari sepakbola. Bukankah prestasi yang kita inginkan? Kalau begitu bicaralah segera. Kalau tidak, artinya kita memang telah menjadi bangsa yang bebal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H