[caption id="attachment_107920" align="aligncenter" width="300" caption="Lenong Politik. jakartapress.com"][/caption] Tayangan lenong politik di TV One semalam, berubah jadi ajang perdebatan dua anggota DPR yang terhormat. Acara parodi politik yang dibalut dalam format komedi itu , seakan berubah menjadi acara "talkshow" yang menampilkan "dagelan" antara Bambang Susatyo dan Sutan Batoegana. Malam itu panggung Malih Cs di ambil alih keduanya, mereka seakan ingin menunjukan kemampuannya bermain peran dengan cara saling adu argumentasi, sayangnya lawakan keduanya tak mampu sedikitpun mengundang tawa saya selaku pemirsa. Saya berpikir keduanya bukan contoh "pelawak " yang baik dan masih harus banyak belajar pada Pak Bolot, yang meski "tuli" tingkahnya selalu mengundang tawa yang tulus dari penontonnya. Lihat saja, Pak Bolot yang malam tadi berperan sebagai wakil kepala kelurahan, dengan "kebodohannya" sangat pintar menjawab celotehan Bambang Susatyo yang berapi-api. Anggota DPR dari Partai Golkar itu, harus terdiam sejenak ketika Bolot dengan wajah tanpa dosa menjawab " biar tuli, yang penting jujur". Sungguh sebuah jawaban yang sarat makna, seolah menggugat kejujuran para anggota DPR yang selalu merasa, dirinya orang yang paling benar di dunia. Hal yang sama juga terjadi pada Sutan Batoegana, meski berperan sebagai humasnya Pak Lurah, argumentasinya bukan sesuatu yang baru, sehingga pembelaannya terkesan basi. Lagi-lagi diapun harus belajar pada para komedian senior itu bagaimana menyampaikan kritik dan cara membela diri dengan gaya apa adanya,yaitu gaya yang penuh "kelucuan yang manusiawi tanpa kepura-puraan" Bambang Susatyo, yang terkenal sangat "alergi" dengan apapun yang di buat pemerintah, terus mengugat dan mengajari Pak Lurah, bagaimana cara menjalankan kekuasaan. Sanggahan atas tuduhan itu, lebih banyak di jawab Sutan Batoegana yang memang sering bersebrangan paham dengan rekannya itu. Pak Lurah Malih, meski  lebih banyak "cengengesan" ternyata cukup pintar menjawab, saat tuntutan memecat para pembantunya, ia berkata " kita tidak bisa memecat orang di tengah jalan, semua harus mengikuti sistem". Duh lagi-lagi jawaban itu "menampar" kepintaran anggota DPR, Malih seolah mengingatkan berdemokrasi juga harus dibarengi etika dan kepatuhan terhadap asas dan aturan yang ada. Tayangan malam tadi, juga menyindir cara masyarakat dalam menyampaikan pendapat, sudah rahasia umum, demontrasi di sini sering berakhir rusuh dan anarkis. Tidak hanya di jalanan, cara berpendapat yang "anarkhis" juga sering kita temukan di ruang sidang DPR. Bagaimana mereka saling menyudutkan,merendahkan, bahkan menghujat lawan politiknya jelas tergambar lewat tayangan televisi. Hal ini digambarkan dalam adegan para centeng berkelahi membela tuannya, dalam adegan ini, lagi-lagi Bolot tampil, menunjukan keahliannya sebagai "pendekar" dan Jojon yang berperan sebagai Dan linmas hanya bisa gelagapan tak sanggup menghentikan perkelahian. Pesan yang bisa pemirsa tangkap dari adegan itu adalah, kekerasaan adalah suatu tindakan yang "bodoh" dan tidak akan menyelesaikan masalah. Malam tadi, dua anggota DPR yang terhormat itu, seakan menjadi murid "Taman Kanak-Kanak", kehebatan mereka beretorika dan berargumentasi masih kalah kelas ketika tampil di panggung komedi, mereka nampaknya harus belajar bagaimana cara para komedian, menyuarakan aspirasi rakyat. Dengan kelucuan yang dimiliki, sindiran/protes tidak terasa menohok bahkan masih membuat orang yang disindirnya tersenyum kecut tanpa harus kehilangan muka dan harga diri. Kalau mau membandingkan, para anggota DPR sering melucu tapi tak pernah membuat kita tertawa, sedangkan para komedian sering berteriak tapi tetap mampu mengundang tawa. Hayo siapa yang lebih lucu di mata rakyat ?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H