Mohon tunggu...
Herdianti Indah Puspita
Herdianti Indah Puspita Mohon Tunggu... Konsultan - Be Intellectual Enlightenment

Pemerhati Tata Guna Lahan dan Perubahan Iklim

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menerawang Future of Work di sektor kehutanan

20 Januari 2023   11:06 Diperbarui: 3 Februari 2024   06:35 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menerawang masa depan seperti masuk kedalam lorong yang mungkin gelap, tidak pasti namun perlu disikapi dengan keoptimisan dan usaha untuk tidak putus asa. 

Ya begitulah yang bisa kita sikapi sebagai anak muda setidaknya saat ini. Masuk tahun 2020 dengan pukulan pandemi covid-19 telah menyebabkan banyak perubahan untuk menuntut kita berlari cepat dan adaptif. Peran pemuda sangat sering dikaitkan dengan kemajuan suatu bangsa. 

Menengok kebelakang pra kemerdekaan Indonesia. Lahirnya sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 menjadi tonggak utama dalam sejarah pergerakan pemuda seluruh Indonesia dalam semangat meraih kemerdekaan Indonesia. Sebagai  generasi penerus bangsa, ada beberapa peran pemuda yakni agen pembaharu, agen perubahan dan pusat pembangunan. Pembangunan suatu negara diperlukan tidak hanya dalam hal infrasruktur tetapi juga dalam hal pembangunan dan pengembangan SDM nya. BPS tahun 2022 merilis laporan untuk mencapture profil ketenagakerjaan Indonesia. Dalam laporan tersebut tercatat bahwa:

  • Jumlah angkatan kerja pada Februari 2022 sebanyak 144,01 juta orang, naik 4,20 juta orang dibanding Februari 2021. Penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang, naik sebanyak 4,55 juta orang dari Februari 2021. 
  • Lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan persentase terbesar adalah Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (0,37 persen poin). Sementara lapangan pekerjaan yang mengalami penurunan terbesar yaitu Sektor Jasa Lainnya (0,51 persen poin). 
  • Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2022 sebesar 5,83 persen, turun sebesar 0,43 persen poin dibandingkan dengan Februari 2021.
  • Terdapat 11,53 juta orang (5,53 persen) penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19. Terdiri dari pengangguran karena COVID-19 (0,96 juta orang), Bukan Angkatan Kerja (BAK) karena COVID-19 (0,55 juta orang), sementara tidak bekerja karena COVID-19 (0,58 juta orang), dan penduduk bekerja yang mengalami pengurangan jam kerja karena COVID-19 (9,44 juta orang).

Kementerian Tenaga Kerja Indonesia pernah memproyeksikan sekitar 23 juta pekerjaan hilang hingga tahun 2030, karena terdampak digitalisasi. 

Hasil riset McKinsey juga menyatakan serupa bahwa revolusi industri 4.0 akan menyebabkan hilangnya 23 juta pekerjaan di Indonesia, yang akan digantikan oleh 46 juta jenis pekerjaan yang belum pernah ada sebelumnya sebagai profil kreativitas teknologi. Tren digitalisasi yang melaju kencang diberbagai sektor termasuk dunia bisnis, membuat Indonesia saat ini menghadapi kebutuhan tenaga ahli di bidang teknonologi informasi dan komunikasi yang sangat tinggi. 

Hal ini antara lain ditunjang oleh data yang menunjukkan bahwa penetrasi internet Indonesia telah mencapai 76,8% dari total populasi (Internet World Stats, Maret 2021); sebanyak 88,1% pengguna internet di Indonesia memakai layanan e-commerce untuk membeli produk tertentu dalam beberapa bulan terakhir (We Are Social, April 2021); 41,2 - 66,7% konsumen mengatakan akan terus berbelanja online setelah pandemi berakhir (LPEM FEB UI, 2020). Teknologi digital telah membantu kita menjawab berbagai permasalahan sehari-hari. 

Dengan teknologi digital, kita bisa belajar, bekerja, dan bermain dengan cara baru. Penggunaan teknologi digital pun dirasa ampuh dapat mengurangi jejak karbon. Jejak karbon adalah jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dari berbagai kegiatan (aktivitas) manusia pada kurun waktu tertentu. Dengan penggunaan teknologi digital maka kita mampu berlari menembus ruang dan waktu. Kita bisa melakukan apapun di dunia digital. 

Singkatnya teknologi digital mampu mengurangi jejak karbon dilihat dari jumlah total gas rumah kaca, termasuk karbon dioksida dan metana yang dihasilkan oleh berbagai kegiatan produksi dan kegiatan sehari-hari setiap orang. Digitalisasi ini memiliki manfaat yang baik bagi lingkungan namun kehadirannya juga dapat menggeser pola pasar tenaga kerja. Menyikapi hal ini Indonesia harus memiliki kebijakan tidak hanya sekedar pro lingkungan namun pro growth dan pro poor, apalagi pada tahun 2030 diperkirakan Indonesia akan mencapai puncak bonus demografi. 

Transisi menuju ekonomi rendah karbon dan dekarbonisasi menghadirkan peluang sekaligus tantangan. Ekonomi rendah karbon dapat mengkatalisasi pertumbuhan pasar yang penting termasuk teknologi energi bersih, meningkatkan kesempatan kerja di sektor berkelanjutan, dan juga mendukung transformasi sektor energi global, namun disisi lain ekonomi rendah karbon ini memiliki tantangan dikarenakan besarnya pembiayaan yang diperlukan untuk mengubah ekonomi berbasis fosil. 

Pembangunan rendah karbon merupakan salah satu strategi transisi menuju ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan, Pembangunan rendah karbon juga menjadi tulang punggung menuju ekonomi hijau untuk mencapai visi Indonesia maju 2045 dan mencapai Net Zero Emission pada 2060. 

Implementasi kebijakan Net Zero Emission melalui Pembangunan Rendah Karbon dapat diwujudkan dengan melakukan transisi menuju ekonomi hijau. Ekonomi hijau dalam dokumen perencanaan telah dimasukkan dalam RPJMN 2020-2024 dengan tiga program prioritas, yaitu peningkatan kualitas lingkungan, peningkatan ketahanan bencana dan perubahan iklim, serta pembangunan rendah karbon. Salah satu upaya untuk menciptakan perekonomian rendah karbon dan berkelanjutan adalah dengan memperbanyak green jobs. 

Gagasan “Green Jobs” telah menjadi lambang ekonomi yang lebih berkelanjutan dan berkeadilan sosial, yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan hidup baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang dan untuk menjadi lebih adil dan inklusif bagi semua orang dan semua negara.  

Green Jobs menjanjikan mampu mencegah perubahan iklim dan kerusakan alam serta menciptakan pekerjaan yang layak untuk kesejahteraan dan martabat bagi semua orang (UNEP, 2008). Green Jobs dapat ditemukan di banyak sektor ekonomi mulai dari rantai pasok energi hingga siklus daur ulang dan dari pertanian dan konstruksi hingga transportasi. Green Jobs membantu mengurangi konsumsi energi, raw material, dan konsumsi air. 

Green Jobs dapat menjadi strategi efisiensi tinggi untuk mendekarbonisasi ekonomi dan mengurangi emisi gas rumah kaca, untuk meminimalkan produksi limbah dan polusi, serta untuk melindungi dan memulihkan ekosistem dan keanekaragaman hayati. 

Bicara perubahan iklim, sektor kehutanan dan energi memiliki potensi yang cukup tinggi untuk mengaddress isu tersebut. Sektor kehutanan merupakan pusat transisi menuju low carbon dan circular root dari energi terbaharukan adalah sumberdaya alam atau yang lebih kita kenali dengan konsep bioekonomi. 

Dengan kemampuannya, hutan mampu menangkap dan menyimpan karbon, menghasilkan sumber pangan bahan berbasis serat, hingga menggantikan sumber daya yang tak terbarukan berbasis fosil dalam produk yang biasa kita gunakan sehari-hari. Dalam mendukung pencapaian SDGs, konsep bioekonomi ini sendiri setidaknya mampu menyasar enam aspek yakni people, communities, circularity, procurement baik dalam bentuk barang maupun jasa, water,and climate.

Dalam menciptakan pekerjaan yang layak di sektor kehutanan, green jobs sendiri setidaknya akan banyak hadir dalam proyek terkait rehabilitasi dan reklamasi hutan, industri kayu, remote sensing dan pemetaan, skema sertifikasi hutan, farmasi dan kecantikan, sustainable fesyen, air minum, carbon trading, sustainable tourism, agroforestry dan pangan.  

Guna menciptakan green jobs, link and match antara skill needed dan green jobs itu sendiri juga harus dipetakan bersama sama antara sekolah vokasi dan universitas yang menghasilkan bibit unggul SDM, pelaku usaha maupun pemerintah. Tantangan dalam mencetak ekonomi hijau dan green jobs memiliki implikasi dari proses mengidentifikasi kebutuhan skill dan pelatihan. Hal ini akan sangat bervariasi implementasinya antar negara, tergantung pada struktur ekonomi masing masing negara, kelembagaan serta komposisi pasar tenaga kerja.

Belajar dari COVID-19. Pada tahun 2020 perekonomian Indonesia untuk pertama kalinya mengalami resesi sejak krisis moneter 1998. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2020 mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 2,07% persen dibandingkan tahun 2019. 

Pandemi COVID-19 jelas memberi hantaman keras bagi sektor pariwisata. The United Nations World Tourism Organization (UNWTO), badan PBB untuk sektor pariwisata, melaporkan bahwa di tahun 2020 jumlah perjalanan wisata turun sebesar sekitar 1 miliar perjalanan atau 84%. PDB dunia juga kehilangan sekitar USD 2 triliun, yang merupakan akibat dari adanya penutupan perbatasan baik domestic maupun internasional, pembatasan visa, dan kebijakan karantina. 

Pariwisata di negara-negara di asia Tenggara merupakan wilayah yang terdampak paling parah.  BPS (2020) menyebutkan bahwa sebanyak 409 ribu tenaga kerja di sektor pariwisata kehilangan pekerjaan, yang tentu saja menyebabkan adanya multiplier effect bagi sektor perekonomian lainnya. 

Melalui statistik KSDAE Kementerian LHK tahun 2021, pada bidang pemanfaatan jasa lingkungan untuk kepentingan wisata alam, dalam tahun 2021 tercatat lebih dari 2,9 juta orang yang berkunjung ke kawasan konservasi. Pengunjung kawasan konservasi tersebut terdiri atas pengunjung domestik sebanyak 2.937.960 orang serta pengunjung manca negara sebanyak 10.011 orang. Kunjungan tersebut menghasilkan penerimaan negara sebesar Rp. 44,394,783,498,00. Jumlah penerimaan tersebut pada 2 (dua) tahun terakhir ini mengalami penurunan dikarenakan ditutupnya kawasan konservasi selama pandemi Covid-19. 

Belajar dari pengelolaan KPH

Konsep pengelolaan hutan berbasis tapak mengalami evolusi dari masa ke masa (lihat http://kph.menlhk.go.id/sinpasdok/pages/lihat_berita/6). Sebagai sebuah entitas pengelolaan hutan pada unit pengelola terkecil di tingkat tapak, KPH bisa secara efektif dan efisien dalam mengelola sumber daya hutan. Pembentukan KPH akan memainkan peran kunci dalam upaya lokal menuju pembangunan berkelanjutan ekonomi, mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta konservasi keanekaragaman hayati. Konsep pengelolaan hutan berbasis tapak ini sebetulnya mengadopsi konsep pengelolaan hutan era kolonial Belanda yang telah diterapkan di Perum Perhutani dan dielaborasi untuk menjawab tantangan masa kini. Di awal proses pembentukan KPH terdapat 120 KPH model yang didirikan dan diharapkan dapat menjadi KPH model yang mandiri (BLUD). Hal ini kemudian diikuti dengan program rekrutmen pegawai dalam Bakti Sarjana Kehutanan untuk menyerap tenaga kerja sektor kehutanan sebesar besarnya sebagai ujung tombak pengelolaan hutan di seluruh Indonesia. Konsep sertifikasi profesionalitas SDM di Kehutanan juga disiapkan kala itu, untuk menjamin agar Kepala KPH diduduki oleh orang orang yang kompeten dibidang Kehutanan. Konsep pengelolaan KPH ini bagus namun kurang mendapat dukungan politis dari kepala daerah. Nasib para bakti sarjana kehutanan yang direkrut pegawai didaerahpun juga masih terkatung katung tidak memiliki kepastian jangka panjang dan berstatus sebagai tenaga honor, ujungnya pengelolaan hutan di daerah menghadapi berbagai tantangan  dari sisi SDM sebagai pengelolanya. 

Isu lingkungan masih sulit menjadi prioritas pembangunan maupun penganggaran di daerah. Hal ini terjadi mengingat kesadaran terhadap lingkungan itu sendiri masih minim ditingkat individu baik skala nasional maupun daerah. Namun setidaknya Pemerintah kita telah mengawali dengan mewarnai kebijakan RPJMN 2020-2024 lebih hijau dibanding kebijakan di masa sebelumnya. Sebelumnya pembangunan negara dikatakan berhasil apabila kita bisa mengurangi kemiskinan, meningkatkan IPM, menumbuhkan ekonomi, mengurangi tingkat pengangguran terbuka. Dalam new RPJMN tersebut,intensitas emisi untuk pertama kali dijadikan sebagai indikator pembangunan sekaligus menggiring pembangunan kita bertansisi ke ekonomi yang lebih hijau. 

Kembali mengkaitkan ekonomi hijau dan digitalisasi industri, perlahan namun pasti di masa mendatang kita akan masuk ke circularity dan bioekonomi. Kate Raworth, Senior Associate di Cambridge Institute pernah memperkenalkan konsep "Doughnut Economy” atau “ekonomi donat”. Ekonomi donat menawarkan satu pendekatan yang menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Dalam kongres Kehutanan Dunia tahun 1978 di Jakarta, dicanangkan tema "forest for people" dimana hutan semakin dipandang dari sudut pandang yang berbeda dan kompleks. Dari gagasan forest for people inilah menggiring lahirnya konsep perhutanan sosial. Perhutanan sosial ini sejalan dengan konsep low carbon development yang berorientasi kepada lingkungan, ekonomi dan sosial.  Pemerintah sendiri telah mentargetkan alokasi perhutanan sosial seluas 12,7 juta Ha area hutan. Tingginya konflik tenurial, kurangnya pemahaman berbagai pihak yang terlibat tentang perhutanan sosial, serta dukungan angggaran untuk perhutanan sosial belum memadai dan belum optimalnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah dalam implementasi perhutanan sosial turut berkontribusi menjadi kendala belum optimalnya kinerja perhutanan sosial. 

Hadirnya UU Cipta Kerja diharapkan akan semakin memudahan keran investasi di Indonesia. Namun lagi-lagi, ada banyak kekhawatiran dari pari aktivis lingkungan agar hadirnya UUCK tersebut mengulang sejarah pengelolaan SDA yang carut marut dan tidak lestari. SDA harus kita kelola sebesar besarnya untuk kebermanfaatan bersama dan menciptakan harmoni keberlanjutan dimasa mendatang. Untuk itu diperlukan konsep kolaborasi antar pemerintah pusat, kolaborasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, kolaborasi pemerintah, private sektor, CSO dan universitas agar terjalin sinergi penta helix yang positif bagi perbaikan lingkungan mulai dari perencanaan, implementasi program, proses evaluasi dan penguatan big data, improvement planningnya serta memperkuat basis penegakan hukum lingkungan akan menjadi sangat krusial dalam mewujudkan tata kelola SDA yang lebih baik. Dari keseluruhan proses tersebut, penyertaan anak muda yang aktif, produktif dan positif diharapkan mampu menjadi akselerasi tongkat estafet menuju indonesia yang maju dan memiliki tata kelola SDA yang lebih baik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun