Indonesia baru-baru ini mengumumkan pemindahan ibu kota negara dari pulau Jawa ke pulau Kalimantan. Salah satu alasan pemindahan ibukota negara dari Jakarta ke Kalimantan ini karena Jakarta dinilai sebagai salah satu kota terpadat di dunia, dan salah satu kota yang paling terancam oleh perubahan iklim. Pada Tahun 2019, World Population Review memperkirakan bahwa lebih dari 10,6 juta orang tinggal di dalam kota, dan jumlah itu terus bertambah. Hampir dua pertiga Produk Domestik Bruto Indonesia dihasilkan di Jakarta (Salim dan Firman, 2011; Bank Dunia, 2019). Akibatnya, Jakarta menjadi kota yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi (>4000 orang/km2) (World Population Review, 2019).
Ide pemindahan IKN sendiri pertama kali dicetuskan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Juli 1957. Kala itu Sukarno ingin memindahkan ke Palangkaraya sebagai IKN dengan alasan Palangkaraya berada di tengah kepulauan Indonesia dan wilayahnya luas. Namun karena beberapa bertimbangan dari berbagai aspek Penajem Paser Utara Kalimantan Timur dipilih oleh Pemerintah Indonesia sebagai Ibu Kota Nusantara, sumber peradaban yang baru.
Visi pemindahan Ibu Kota Nusantara sebagai kota dunia dibangun dan dikelola dengan tujuan untuk menjadi kota berkelanjutan di dunia; sebagai penggerak ekonomi Indonesia di masa depan; dan sebagai simbol identitas nasional yang merepresentasikan keberagaman bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ibu kota baru Indonesia merupakan bagian dari rencana Pemerintah untuk mengembangkan budaya kerja dan basis strategi pertumbuhan ekonomi yang baru. Pemindahan Ibu kota baru Indonesia ini secara tidak langsung akan mendorong transformasi dalam banyak multidimensi kehidupan untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju.
Dari aspek ekologi pemindahan IKN ini memang perlu kehati-hatian yang super. Dimana, karakteristik tanah di Kalimantan yang bercirikan marginal dan cenderung miskin hara. Tanah marginal dicirikan oleh tekstur tanah yang bervariasi dari pasir hingga liat. Hal tersebut dikarenakan batuan sedimen masam di Kalimantan terbentuk dari dua macam bahan induk tanah, yaitu batu pasir yang bertekstur kasar dan batu liat atau batu lanau yang bertekstur halus. Kesuburan tanah alami sangat bergantung pada komposisi mineral bahan induk tanah atau cadangan hara tanah. Semakin tinggi cadangan hara tanah, semakin tinggi pula tingkat kesuburan tanahnya. Cadangan hara di dalam tanah sangat bergantung pada komposisi, jumlah, dan jenis mineralnya. Tanah marginal dari batuan sedimen masam mempunyai cadangan mineral atau cadangan hara yang rendah. Permasalahan umum pada tanah marginal lahan kering dari batuan sedimen masam adalah reaksi tanah masam, kandungan bahan organik rendah, ketersediaan dan cadangan hara rendah, serta kejenuhan Al tinggi. Â Tindakan praktis untuk memperbaiki sifat kimia tanah tersebut membutuhkan penambahan bahan organik yang berfungsi sebagai bufer terhadap pH rendah dan toksisitas Al tanah melalui pembentukan khelat (Brownet al. 2008). Terlepas dari kepentingan ekologisnya, kurang lebih 30% Kalimantan telah digunduli dalam 50 tahun terakhir, dengan hutan primer yang paling terpengaruh (Margono et al., 2014; Higginbottom et al., 2019). Untuk itu pemindahan Ibu kota memerlukan kehati-hatian agar tidak menimbulkan bencana ekologi dimasa mendatang.Â
Pulau Kalimantan memiliki salah satu kawasan hutan terbesar yang tersisa di Asia Tenggara dan dianggap sebagai hotspot keanekaragaman hayati global (Myers et al., 2000).Selain itu Kalimantan juga memiliki tingkat keendemikan yang tinggi, dengan lebih dari 700 spesies vertebrata endemik yang ada di pulau tersebut (Myers et al., 2000). Kalimantan merupakan habitat asli orang utan. Beberapa pengamat lingkungan baik di dalam maupun luar negeri menyatakan kekhawatiran pemindahan ibu kota dapat mengancam spesies yang terancam punah. Di dalam Jurnal yang berjudul "Implications of large-scale infrastructure development for biodiversity in Indonesian Borneo" disebut bahwa relokasi ibu kota baru yang ambisius ke Kalimantan,akan membawa konsekuensi besar terhadap pengembangan secara masif infrastruktur perkotaan dan jalan dan potensi implikasinya terhadap potensi keanekaragaman hayati belum sepenuhnya dinilai. Guna mengantisipasi kerusakan lingkungan dan timbulnya bencana alam, dalam UU 32 tahun 2022 pasal 18-19 disebutkan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Ibu Kota Nusantara akan dilaksanakan berdasarkan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Rencana Tata Ruang KSN Ibu Kota Nusantara dengan mempertimbangkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.Â
Pemindahan Ibu Kota yang baru ini juga memerlukan investasi yang cukup tinggi untuk pembangunan infrastruktur di Penajam Paser Utara. Pengembangan Ibu Kota negara yang baru diharapkan akan menjadi kota yang smart, sustainable, dan resilient. Teknologi, sebagai enabler dari smart development city, akan dimanfaatkan sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan perkotaan. Untuk kesejahteraan masyarakat, inovasi teknologi harus berkontribusi pada pengembangan model baru pertumbuhan sosial, ekonomi, dan lingkungan untuk membuat ibu kota lebih modern dan berkelanjutan. Penggunaan teknologi digital, seperti Artificial Intelligence (AI), Internet of Things (IoT), Big Data, dan berbagai perangkat teknologi terkini akan menjadi sistem pengembangan dan operasional kota. Pengembangan teknologi dan inovasi akan memainkan peran penting di masa mendatang, bukan hanya dalam mengembangkan smart city sebagai salah satu solusi tantangan perkotaan tetapi juga dalam menciptakan model baru manajemen perkotaan masa depan yang terhubung secara digital yang ekonomis, layak, diinginkan secara sosial, dan ramah lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H