Mohon tunggu...
Herdianti Indah Puspita
Herdianti Indah Puspita Mohon Tunggu... Konsultan - Be Intellectual Enlightenment

Pemerhati Tata Guna Lahan dan Perubahan Iklim

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pajak Kita untuk Apa dan Siapa?

9 Januari 2023   15:45 Diperbarui: 11 Januari 2023   06:51 515
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Penerimaan pajak di Indonesia memainkan peran yang cukup signifikan. Terbukti dalam laporan penerimaan negara, penerimaan pajak hingga Oktober 2021 memegang kendali 77% atau sebesar Rp1.547,8 triliun dari total penerimaan negara pada APBN 2021. Pernyataan krusial selanjutnya adalah pajak kita untuk apa dan siapa? Bila kita mau mencoba berpikir kritis terhadap hal ini akan ada banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan bersama. Sebagaimana kita ketahui bersama, pajak memiliki empat fungsi utama, yaitu fungsi budgeting, (mengumpulkan dana dari masyarakat untuk kegiatan bernegara), fungsi regulatory (fungsi bagi memerintah untuk mencapai tujuan tertentu), fungsi stabilitas (terkait tujuan pemerintah untuk menstabilkan harga dalam kondisi tertentu, misalnya, saat inflasi, dan lainnya), dan fungsi pemerataan pendapatan (pajak digunakan sebagai sarana peningkatan kesempatan kerja yang nantinya dapat meningkatkan pendapatan masyarakat).

Dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadi negara yang maju, maka perlu adanya dukungan sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel. Pemerintah Indonesia kemudian merespon dengan mengeluarkan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP). Tujuan konkret reformasi pajak melalui UU HPP ini untuk memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan, penguatan administrasi perpajakan, serta menciptakan keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum. Yang menarik dalam undang-undang ini adalah munculnya program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, Pajak Karbon, hingga Cukai. Sejalan dengan komitmen lingkungan yang tertuang dalam NDC, Indonesia membuktikan langkah konkretnya terhadap isu perubahan iklim secara konkret yang terintegrasi dengan sistem perpajakan nasional. Dalam undang-undang tersebut, Bab VI pasal 13 ayat 1 disebutkan bahwa Pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Dengan pajak lingkungan, artinya setiap perusahaan yang memperparah kondisi lingkungan akan dikenakan pungutan wajib (the polluter pays principle). 

Konsep ini tentu saja menuai banyak kontroversi terutama dari kalangan pengusaha. Apalagi perhitungan pajak yang dikenakan berasal dari jumlah biaya produksi. Hal ini akan menjadi pos pengeluaran baru di samping biaya-biaya lingkungan seperti biaya pemeriksaan amdal yang telah diterapkan sebelumnya. Efeknya, biaya produksi akan naik, keuntungan menurun, dan efek multiplier lainnya. Wacana terkait green tax sendiri sebetulnya sudah mencuat cukup lama. Green tax adalah salah satu langkah konkret pemerintah dalam merespons isu kerusakan lingkungan. Lebih lanjut, masih banyak ketentuan teknis yang belum diatur, meskipun dalam aturan tersebut telah dirinci terkait ketentuan pelaksanaan hak dan kewajiban wajib pajak yang berkewajiban membayar pajak karbon. 

Merujuk article 6 UNFCCC merupakan alat kunci untuk meningkatkan ambisi iklim. Dalam article 6 UNFCCC tersebut, menegaskan bagaimana seharusnya pasar karbon internasional yang melibatkan pemerintah berfungsi, pada dasarnya mendukung transfer pengurangan emisi antar negara sementara juga mendorong sektor swasta untuk berinvestas ramah iklim. Lebih lanjut dalam article 6.4 disebutkan bahwa A mechanism “to contribute to the mitigation of greenhouse gas emissions and support sustainable development” (Paris Agreement, Article 6, paragraph 4) . Melalui mekanisme ini sebuah perusahaan di satu negara dapat mengurangi emisi di negara tersebut dan pengurangan tersebut dikreditkan sehingga dapat dijual ke perusahaan lain di negara lain. Perusahaan kedua tersebut dapat menggunakannya untuk memenuhi kewajiban pengurangan emisinya sendiri atau untuk membantunya mencapai net-zero.

Dalam ketentuan administrasi perpajakan, dikenal ada subjek pajak atau yang dikenal sebagai wajib pajak. Mereplikasi alur administrasi perpajakan di Indonesia wajib pajak melaporkan pajak melalui pengisian SPT kemudian laporan akan diverifikasi oleh petugas pajak  hingga muncullah perhitungan besaran pajak yang dikenakan kepada wajib pajak untuk dibayarkan dan tercatat sebagai penerimaan negara dalam APBN kita. Menilik mekanisme pasar perdagangan karbon tersebut, sejauh mana Pemerintah Indonesia telah menyiapkan regulasi dari hulu ke hilirnya. Khusus di sektor kehutanan, bila pajak karbon ini diimplementasikan, masalahnya adalah siapa subyek yang dipungut pajak karbon dalam perdagangan karbon ini? 

Kembali kepada wacana pajak karbon. Bila nanti terimplementasi, sejauh mana Pemerintah Indonesia telah mempersiapkan hal ini. Mengingat bahwa Indonesia menduduki posisi strategis sebagai negara dengan luas hutan tropis terbesar ketiga di dunia serta laju deforestasi terbesar kedua, Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup strategis untuk implementasi pencegahan krisis iklim global. Baik di tingkat global maupun di Indonesia, REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) didorong menjadi salah satu “win-win solution” yang dianggap mampu menyatukan agenda penyelamatan lingkungan dan pengentasan kemiskinan dengan kepentingan kapitalisme modal dalam satu wadah (Brown, Seymour, dan Peskett 2008; Miles dan Kapos 2008). Karakteristik inilah yang menjadikan REDD+ sebagai contoh gamblang diskursus modernisasi ekologi, yang populer semenjak dipublikasikan dalam Laporan Brundlant bertajuk Our Common Future pada 1980-an sebagai transformasi sektor bisnis menjadi lebih “hijau” dan berkelanjutan (Bäckstrand dan Lövbrand 2006). Pengenaan pajak karbon saat ini masih bertahap dalam proses persiapan dan direncanakan oleh Pemerintah Indonesia akan dilakukan pasca 2025. Secara bertahap Pemerintah Indonesia saat ini sudah melakukan beberapa persiapan dengan memperhatikan prioritas dalam pencapaian target NDC, perkembangan pasar karbon, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi Indonesia. Hal ini bertujuan agar pengenaan pajak karbon yang berlaku di Indonesia dapat memenuhi asas keadilan (just) dan terjangkau (affordable) serta tetap mengutamakan kepentingan masyarakat.

Guna  menyiapkan instrumen pajak, keterlibatan institusi pengawas keuangan dan lembaga pemberantasan korupsi dirasa perlu dilibatkan secara aktif sehingga penyelenggaraan pungutan pajak ini dapat menjadi gebrakan baru yang akan mewarnai tata kelola perpajakan dan tata kelola sumber daya alam kearah yang lebih baik bagi sosial, ekonomi dan lingkungan. Adanya shadow economy dalam kerangka perpajakan harus diminimalisir. Shadow economy sendiri dalam kerangka perpajakan dapat diartikan sebagai aktivitas baik yang legal maupun ilegal hingga mengakibatkan kebocoran pajak. BPK tahun 2010 pernah mencatat setidaknya potensi kerugian negara akibat illegal logging mencapai RP. 83 Milyar. Dalam kasus di sektor kehutanan, setidaknya shadow economy yang muncul akibat illegal logging sebagai potensial loss dari penerimaan pajak dapat dicegah melalui one map one policy, harmonisasi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, pelibatan masyarakat dalam upaya penghijauan hutan dan penguatan penegakan hukum lingkungan. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun