Masih ingatkah kita bila Indonesia dikenal sebagai negara mega biodiversitas? Masihkah layak predikat tersebut disandang Indonesia pada 100 tahun Indonesia merdeka? Tidak bisa dipungkiri bahwa praktek pembangunan di masa lalu banyak menyisakan kerusakan lingkungan hingga menyebabkan terjadinya krisis iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati. Berdasarkan prediksi para pakar, Indonesia sebagai negara kepulauan sangat rentan terhadap kriris iklim dan runtuhnya keanekaragaman hayati karena hilangnya sumberdaya hutan akibat masifnya tingkat deforestasi dan degradasi hutan. Adanya deforestasi dan degradasi lingkungan pulalah salah satunya yang memicu cepat faktor terjadinya bencana hidrometeorlogi. Untungnya kini, laju deforestasi hutan kian menunjukkan tren penurunan.
Dalam sebuah forum KTT Iklim di Glasgow pada COP 26, para pemimpin dunia menyatakan tekadnya untuk mengakhiri dan mengatasi dampak deforestasi hutan pada tahun 2030. Pada tahun 2021, melalui laman website resmi Kementerian LHK, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan merilis data bahwa Indonesia berhasil menurunkan deforestasi 75,03 %. Penurunan deforestasi sebesar 75,03 % merupakan angka deforestasi netto. Perhitungan deforestasi ini juga mencakup baik di dalam maupun di luar kawasan hutan Indonesia.
Indonesia pernah mencatat angka deforestasi tertinggi, yakni mencapai 3,51 juta ha/tahun pada 1996-2000.Tingginya tingkat deforestasi dalam kurun rentang waktu tersebut menyebabkan tingginya tingkat emisi dan hilangnya keanekaragamanhayati. Kita tidak dapat mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati tanpa mengatasi perubahan iklim, tetapi juga tidak mungkin mengatasi perubahan iklim tanpa mengatasi hilangnya keanekaragaman hayati. Melindungi dan memulihkan ekosistem dapat membantu kita mengurangi tingkat perubahan iklim dan mengatasi dampaknya. Intergovernmental Panel on Biodiversity and Ecosystems merilis laporan yang cukup mengejutkan bahwa akan terjadi sebanyak satu juta spesies menghadapi kepunahan pada tahun 2050.
Hilangnya keanekaragaman hayati tidak hanya menjadi nomor tiga sebagai ancaman paling parah di dunia, dalam laporan Annual Global Economic Risks Report, keanekaragamanhayati memainkan peran pendukung dalam risiko global lainnya, termasuk krisis iklim, krisis pangan dan air, serta bencana lingkungan. Sebuah laporan baru yang dirilis di Davos, Nature Risk Rising, memperkirakan bahwa lebih dari separuh ekonomi global kita—US$44 triliun—secara langsung bergantung pada alam, dan karenanya rentan terhadap guncangan lingkungan.
Para pakar memperkirakan, adanya krisis iklim akan mengancam setidaknya 50% spesies dunia karena hilangnya habitat dengan kondisi iklim yang cocok bagi mereka. Didalam buku berjudul Environment and Disaster Risk, Emerging Perspectives, Steiner (2008) menyebutkan setidaknya untuk mencegah berkurang atau hilangnya biodiversitas, ada beberapa hal yang dapat dilakukan meliputi mitigasi, persiapan, dan early warning.
Konflik manusia–satwa liar merupakan buntut permasalahan kompleks dari carut marut tata kelola hutan selama ini. Hal ini bisa menimbulkan permasalahan yang berhubungan dengan keselamatan manusia tetapi juga satwa itu sendiri. Sebagai contoh sepanjang tahun 2021, dalam catatan Balai Besar TNGL, tercatat konflik antara harimau Sumatra dengan manusia yang paling mendominasi mencapai 96 kasus. Lalu, dikuti konflik gajah sebanyak 24 kasus, dan orang utan Sumatra 10 kasus. Wiratno (2012) dalam buku Solusi Jalan Tengah pernah menjelaskan kondisi carut marut lingkungan hidup khususnya pengelolaan sumberdaya hutan nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi politik ekonomi yang mendewakan pertumbuhan ekonomi hingga menyebabkan kegagalan trickle down effectnya, sebagai konsekuensinya adalah selalu mengajukan pembenaran perlunya sumberdaya alam dieksploitasi kalau perlu dihabiskan.
Keraf (2002) dalam buku Etika lingkungan secara runut pernah mengurai permasalahan tersebut dengan apa yang menjadi latar belakang kebijakan tersebut karena etika yang dipakai memang etika antroposentrisme. Di dalam etika ini manusia diposisikan sebagai pusat dari alam semesta, dan hanya manusia yang memiliki nilai, sementara alam dan segala isinya sekedar alat bagi pemuas kepentingan dan kebutuhan hidup manusia. Lebih lanjut menurut Keraf (2002), cara pandang ini melahirkan perilaku eksploitatif yang menyebabkan kerusakan ekologi hingga menyebabkan populasi satwa liar kehilangan habitatnya dan muncullah konflik antara satwa dan manusia.
Dari sisi pengelolaan tata ruang. Di dalam Undang-Undang No.26/2007 tentang Tata Ruang (UU TR), Kawasan Strategis Lingkungan Hidup (KSLH) merupakan otoritas Pemerintah Daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang berlokasi di Kawasan hutan, APL, dan non kawasan hutan lainnya yang memenuhi ciri ciri untuk ditetapkan sebagai KSLH untuk memberikan perlindungan bagi neraca air, keseimbangan iklim makro, perlindungan ekosistem flora dan fauna yang hampir punah dan harus dilestarikan, serta perlindungan dalam mengurangi resiko bencana alam. Pengukuhan tata ruang kawasan hutan adalah mutlak untuk melindungi keberadaan sumberdaya hutan yang kondisinya masih baik. Untuk melakukan pencegahan kerusakan di luar Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru yang secara ekologis penting bagi keanekaragaman hayati dari beragam gangguan yang dapat menyebabkan terancamnya keanekaragaman hayati, Pemerintah melalui Kementerian LHK juga telah menetapkan Kawasan tersebut sebagai Kawasan ekosistem esensial. Kolaborasi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pengelolaan KEE dan KSLH diperlukan untuk menerobos ego instansi dalam upaya konservasi SDA dan penataan ruang yang berkelanjutan.
Sedang dari sisi ketersediaan data, munculnya fenomena digitalisasi data dalam volume yang luar biasa besar dan tersedia terbuka di internet mendorong mendunianya istilah “Big Data”. Dari analisis big data dapat dimanfaatkan untuk pengambilan keputusan lebih cepat, memahami kebutuhan pasar/pelanggan, mengembangkan strategi kebijakan dan layanan, meningkatkan produktivitas.
Melalui BPS, penyusunan sistem terintegrasi neraca lingkungan dan ekonomi (SISNERLING) menggunakan pedoman System of Environmental-Economic Accounting (SEEA) A-Central Framework (CF) 2012 telah dibangun untuk memperoleh gambaran mengenai aktivitas pengeluaran perlindungan lingkungan, penggunaan input alam, dan pembuangan limbah pada lapangan usaha pariwisata dengan menggunakan Statistical Framework for Measuring Sustainable Tourism (SF-MST).
Environmental accounting atau akuntansi lingkungan adalah salah satu sarana untuk menyajikan informasi, apakah tata Kelola SDA di Indonesia telah menerapkan kebijakan lingkungan dengan baik dalam menjamin keberlanjutan. Peranan akuntan dalam hal ini cukup krusial, terlebih dalam konteks penanganan krisis iklim hal ini dalam membantu mencegah meningkatnya pemanasan global dan laju kerusakan lingkungan. Untuk memperoleh data yang akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses, dan dibagipakaikan, diperlukan perbaikan tata kelola data yang dihasilkan oleh Pemerintah melalui penyelenggaraan Satu Data Indonesia.