Mohon tunggu...
Herdiansyah Hamzah
Herdiansyah Hamzah Mohon Tunggu... -

This is me. I don't have much more to say (yet)! More often called Castro. Lecturer at law faculty of Mulawarman University. Visite my personal blog on http://www.herdi.web.id

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tiki-Taka Pemberantasan Korupsi

8 September 2013   06:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:12 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13785952381939822671

Tiki-taka disini tidak sedang bicara panjang lebar soal keindahan sepakbola ala Barcelona. Pun tidak sedang membahas bagaimana seorang Johan Cruff menanam pondasi taktik penguasaan bola yang tersohor itu. Tiki-taka disini merujuk kepada petualangan ide tentang bagaimana seharusnya strategi pemberantasan korupsi yang efektif. Seefektif tiki-taka dalam sepakbola yang mampu mendominasi pergerakan lawan dan kecakapan menjebol gawang sebagai tujuan pokok yang hendak dicapai.

Sudahlah, bukan saatnya lagi bicara teori korupsi panjang lebar. Otak kita kini harus dipaksa untuk berpikir bagaimana binatang bernama “Korupsi” ini dapat disingkirkan dan dibuang jauh-jauh. Untuk itu, tulisan singkat ini memilih untuk tidak menggunakan referensi teori atau sumber darimanapun. Kita harus memulai melihat persoalan korupsi ini dalam praktek keseharian. Tentang apa yang kita lihat, apa yang kita dengar dan apa yang kita rasa pada kenyataan sosial yang hadir didepan mata kita secara telanjang.

Petak Umpet

Melihat penjahat berlabel koruptor yang sedang berhadap-hadapan dengan aparatur hukum, tentu saja mengingatkan kita dengan permainan semasa kecil, “petak umpet” (Di Eropa dan Amrik sana disebut dengan permainan hide and seek). Intinya para pemain dituntut untuk saling adu kecerdikan, kelihaian dan kerjasama. Koruptor mengasah kecerdikan bersembunyi, kelihaian berpindah tempat jika mulai terendus, dan tentu saja kerjasama diantara sesama tukang tilep duit Rakyat tersebut.

Permainan ini juga mengingatkan kita dengan film dengan judul permainan yang sama “hide and seek” yang dibintangi oleh Robert De Niro dan Dakota Fanning ditahun 2005 silam. Come out, come out, wherever you are! Demikian kalimat yang sering diucapkan seseorang yang sedang mencari teman yang bersembunyi. Jika dianalogikan sedang mencari koruptor, semudah permainan inikah kita mencari dan menangkap koruptor? Tidak tentu saja. Para koruptor ini tidak hanya bersembunyi secara fisik. Namun juga bersembunyi dibalik ideologi dan budaya bangsa kita.

Kita sedang berhadapan dengan kelompok yang licik. Bersembunyi dengan segala cara. Bersembunyi dengan bersilat lidah, mempermainkan aturan hukum semaunya melalui pengacara-pengacara yang mata duitan. Bersembunyi dibalik sogokan harta, menyuap kiri kanan seakan dunia ini miliknya seorang. Bahkan bersembunyi dibalik topeng kekuasaan, atas nama jabatan merasa kebal hukum dan seakan tak mampu tersentuh. Selicik inilah mereka para koruptor menyembunyikan dirinya.

Adu Strategi

Strategi tidak melulu soal menang kalah. Namun juga termasuk soal ukuran. Sejauh mana kita mengukur kemampuan dalam mengerjakan sesuatu. Banyak dari kita yang protes mengapa KPK begitu lamban menyelesaikan kasus-kasus korupsi besar semisal “century gate” atau “BLBI gate”. Untuk memenangkan pertempuran besar, terlebih dahulu harus memenangkan pertempuran kecil. Ini pula yang sedang dimainkan oleh KPK. Kasus-kasus kecil yang sudah diselesaikan, adalah pemacu semangat untuk menuntaskan kasus-kasus besar.

Dalam sepakbola, tiki-taka bertumpu kepada penguasaan bola dari kaki ke kaki. Umpan lambung jauh kedepan, justru membuat strategi serangan tidak berjalan efektif. Begitupun dengan pemberantasan korupsi, penyelesaian kasus-kasus kecil ibaratkan umpan pendek dari kaki ke kaki sebagai pijakan untuk menggapai kasus-kasus besar. Kemenangan kecil inilah yang mampu memberi kepercayaan diri. Konsekuensinya memang tidak harus terlihat selalu menang, ibarat Barcelona yang kalah di skor akhir meski selalu menang dalam penguasaan bola.

Koruptor adalah makhluk licik. Cerdik bagi kaumnya seperti kancil dan licin bagi kaum kita seperti belut. Untuk itu, kita (terutama penegak hukum) dutuntut memiliki kecerdikan 1000 persen lebih hebat dibanding para koruptor itu. Kita butuh gerombolan orang-orang yang memiliki komitmen kuat dan terlatih untuk membasmi benalu bangsa ini. Kita tidak boleh bergantung kepada KPK semata, sebab permainan tiki-taka membutuhkan kerjasama tim, lebih dari sekedar ketokohan. Seorang Linonel Messi-pun tidak akan berarti apa-apa tanpa orang-orang hebat disekelilingnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun