Beberapa waktu yang lalu penulis diajak seorang teman yang hobi sekali memancing ikan untuk ikut bersamanya mengisi akhir pekan di sebuah kolam pemancingan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kami. Karena memang kebetulan sedang tidak ada kegiatan lain, tidak ada salahnya juga ikut menemaninya memancing sambil minum kopi dan ngobrol santai.
Di lokasi pemancingan sudah ada beberapa orang yang berjejer rapi dipinggir kolam dengan pancingnya masing-masing. Setelah menimbang dan membayar beberapa kilogram ikan, ikan yang telah dibayarpun diturunkan ke kolam untuk kita pancing bersama. Sebuah praktik memancing yang penulis rasa agak lucu tapi seperti itulah aturan mainnya. Semakin banyak yang memancing maka akan semakin banyak pula ikan di kolam yang bisa dipancing bersama. Semakin terampil dan cocok umpannya maka akan semakin berpeluang untuk mendapatkan ikan yang banyak.
Terlepas dari bagaimana aturan serta sistem memancingnya, penulis tetap asyik menonton sambil menikmati suasana kolam yang asri dan secangkir kopi hangat. Tidak terasa waktu berlalu beranjak siang dan para pemancing masih focus dengan kegiatannya, sementara penulis sendiri semakin gelisah karena kopi sudah habis dan cuaca semakin panas. Perasaan bosanpun menyergap dan berniat untuk pulang lebih dulu meninggalkan teman yang masih tetap focus dan serius memancing.
Menarik jika memperhatikan para pemancing yang begitu sabar dan kuat menunggu ikan memakan umpannya. Saat gagal menarik ikan yang memakan umpannya, mereka kembali memasang umpan dengan telaten dan tidak kenal lelah sambil focus mencari strategi dan posisi lemparan pancing supaya tepat sasaran dan memancing ikan memakan umpannya. Setelah diperhatikan, nampak bahwa mereka begitu menikmati aktivitas memancingnya. Walaupun ikan yang di dapat mungkin tidak sebanding dengan waktu yang dihabiskan.
Belajar dari mereka para pemancing, penulis mencoba mengimplementasikan pada profesi yang penulis geluti. Merubah mindset dari menganggap mengajar sebagai beban yang harus ditunaikan (kadang rajin kadang datang rasa malasnya) menjadi kegiatan yang menyenangkan. Â Belajar untuk sabar dan kuat menghadapi anak didik yang beragam kemampuan dan karakternya agar bisa mengerti, memahami dan melaksanakan setiap rencana pelaksanaan pembelajaran yang disiapkan.Â
Menyajikan contoh-contoh baik supaya bisa ditiru dalam bentuk visual, menggali pengalaman praktis yang dialami serta merangsang anak didik berpikir untuk mencari pemecahan masalah dari yang sederhana hingga yang cukup sulit. Kemampuan memecahkan masalah, kognitif dan sosial akan menjadi semakin penting, sementara kebutuhan keterampilan fisik akan akan semakin berkurang. Belajar pada hakikatnya adalah proses jiwa yang dapat diketahui hasilnya bukan semata-mata kegiatan fisik.
Seorang pendidik dituntut untuk memiliki ruh yang baik, karena ruhnya seorang guru lebih baik dari gurunya itu sendiri. Gelar sebagai latar belakang pendidikan, keterampilan yang mumpuni serta metode yang hebat akan menjadi timpang manakala ruhnya tidak mendukung. Merupakan impian dunia pendidikan memiliki guru-guru yang hebat jasmani dan rokhaninya. Begitupun impian penulis sendiri untuk bisa menjadi guru yang insani. Sehingga bisa mencetak murid-murid yang insani sebagaimana harapan para orangtua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H