Mohon tunggu...
Herda Wibowo
Herda Wibowo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Instagram : @herdawibowo

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengintip Bahasa Gaul Jaman Dulu, Ada "Doi" dan si "Kampret"

3 November 2021   15:18 Diperbarui: 3 November 2021   15:36 1215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada zaman Sosio Digital saat ini, Slang atau biasa dikenal dengan bahasa gaul sudah tak asing lagi ditelinga kita bahkan sudah berdampingan dalam kehidupan kita khususnya dalam berkomunikasi. Menurut Mulyana (2008) bahasa gaul merupakan kata-kata yang memiliki arti khusus, unik, menyimpang, atau bahkan bertentangan dengan arti yang lazim dikenal oleh orang-orang dari subkultur tertentu. 

Dalam praktiknya, bahasa gaul kerap digunakan oleh para remaja dalam lingkup tertentu seperti di sekolah maupun saat nongkrong dengan teman sepermainannya. Bila kita menilik ke belakang pada era sebelum generasi Z saat ini, apakah bahasa gaul itu sudah ada?

Pertanyaan tersebut tentu menjadi pokok pembahasan yang cukup menarik, karena seperti yang kita ketahui bahwa banyak orang tua kita yang selalu menggunakan bahasa yang formal dalam berkomunikasi sehingga kemungkinan kecil akan adanya bahasa gaul di jaman saat mereka masih usia belia maupun remaja. 

Menjawab hal ini, Saya sudah bertanya dengan beberapa narasumber dan mendapatkan jawaban yang cukup menggelitik di telinga saya. Bagaimana tidak, ternyata orang jaman dulu itu mengenal bahasa gaul sebagai “Plesetan”. Berikut beberapa contoh bahasa gaul yang trend di jaman dulu serta transformasinya di era jaman now :

“Doi” 

Kata tersebut merujuk pada orang tersayang atau kekasih dan dirasa lebih singkat karena tidak perlu menyebutkan nama orang yang dituju. Sehingga banyak yang membubuhi kata tersebut ketika bertanya kepada seseorang seperti contoh “Kok kesini sendirian, emang doi kamu mana?” , di era sekarang orang lebih sering menggunakan kata “Gebetan” yang sama halnya dengan kata “Doi”.

“Apel” 

Dari kata Doi tersebut, hingga muncul kata “Apel” yang mungkin di zaman sekarang kita mengenalnya dengan sebutan “Kencan”. Entah darimana bisa muncul atau terbesit kata tersebut, yang jelas kata-kata tersebut membuat saya cukup terkesima terkait konteks gaul di era sebelum generasi Z saat ini.

“Sam” dan kata-kata yang dibalik lainnya.

Bagi masyarakat yang tinggal di pulau jawa mungkin akan sering mendengar kata-kata yang dibalik. Saya pribadi pernah merasakan hal tersebut ketika saya berlibur ke kota Malang, dimana para warganya sering menyebut kata “Sam” jika dibalik menjadi “Mas” yang merupakan kata sapaan untuk laki-laki. Bila melihat di jaman sekarang, kata “Gaes”dan “Ngab” juga merupakan bentuk transformasi dari kata sapaan yang sebelumnya sudah ada.

“Kampret”

Bila di jaman now orang mengungkapkan kemarahannya dengan kata “Anjir”, maka dulu orang menggunakan kata “Kampret” ketika merasa kesal akan suatu hal. Sebenarnya, kata "Anjir" saat ini merupakan kata yang sudah diperhalus dari sebelumnya orang menggunakan kata "Anjing". Sehingga, hal ini menunjukkan bahwa bahasa gaul akan terus bertransformasi dan tentu meninjau konteks dalam penggunaannya.

“Gokil”

Kata gokil sendiri menggambarkan kepada rasa takjub, lucu dan menarik akan suatu hal, dan diera sekarang bertansformasi menjadi kata “Gils”.

Dari kelima bahasa gaul tersebut, kalian pernah pake yang mana nih?

Eits… mau mengingatkan nih. Sejatinya, sah saja ketika kita ingin menggunakan bahasa gaul atau slang. Namun, bahasa gaul ini justru cukup mengkhawatirkan bilamana kita lihat dari kacamata Kelestarian Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional. Bahasa Indonesia sendiri merupakan bahasa pemersatu bagi banyaknya bahasa daerah yang ada di Indonesia. 

Dalam berbahasa, kita memiliki pedoman yakni PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia). Melihat fenomena yang ada saat ini, seperti contohnya bahasa anak jaksel yang cenderung mengkombinasi antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dan dikhawatirkan menjadi bahasa yang lumrah ketika berbicara dengan orang yang lebih tua atau saat dilingkungan sekolah. 

Hal ini memberikan dan mengingatkan kita untuk “Gaul boleh, tapi jangan melupakan Bahasa Indonesia”  Ok kawan.

Daftar Pustaka :

Mulyana, 2008. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Rembang: Yayasan Adhigama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun