Mohon tunggu...
Bambang Hermawan
Bambang Hermawan Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Budaya

Alumnus Universitas Islam Indonesia 2001. Pecinta budaya dan humaniora

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Suara Tuhan"

11 Desember 2023   12:08 Diperbarui: 11 Desember 2023   12:21 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Vox populi vox dei, suara rakyat suara Tuhan. Begitu bunyi sebuah kalimat yang menjadi salah satu nilai etis dasar pelaksanaan demokrasi. Bahwa suara rakyat sedemikian berharganya sehingga dianalogikan sebagai suara tuhan.

Budaya dan agama timur meyakini jalan meditasi (samadi) sebagai sarana untuk "mendengarkan" suara tuhan. Syarat utamanya adalah suasana yang memungkinkan tercapainya kondisi hening, bening, jernih. Para yogi di india atau penganut buddha rela pergi ketempat sunyi semisal hutan atau wihara untuk mencapai kondisi hening bening dimaksud. Pun menurut cerita sejarah Kanjeng Nabi Muhammad menerima wahyu pertama ketik sendiri di tempat yang sunyi, didalam goa Hira, bukannya ketika beliau di pasar atau alun-alun yang ramai.

Kita sedang dalam tahap persiapan menjaring "suara tuhan" tersebut, pemilu sebagai mekanisme yang di mutlakkan akan berlangsung dengan biaya yang tidak sedikit, dengan sistem yang rumit. "Suara tuhan" yang dititpkan kepada rakyat akan segera menjadi rebutan. Ritual yang digunakan tetap sama, uba rampe nya berupa kertas bergambar full color beserta alat runcing dan bantalnya serta bilik-bilik skral. Para politisi mulai berlomba memasang baliho atau poster dengan pose yang paling menawan. Jargon-jargon yang mirip janji-janji diujar di televisi. Nanti ketika masa kampanye tiba, panggung yang besar di lapangan disediakan, musik dangdut dan jogetan di suguhkan. Konvoi sepeda motor yang mengganggu dipertontonkan di jalan-jalan, maklum terlanjur disebut sebagai "pesta" demokrasi. Keheningan dalam bentuk dialog yang jujur menjadi nomor sekian. Begitulah cara yang umum untuk menjaring "suara tuhan", penuh hiruk yang pikuk memabukkan.

Ketika prosesnya telah usai, dan lulusan-lulusan pemilu terpilih menjadi legislator atau pemimpin eksekutif, "suara tuhan" menjadi kurang penting. Bahkan tak jarang terjadi "suara tuhan" dibajak oleh lembaga-lembaga swadaya untuk dijadikan dasar bargining demi tujuan yang miring. Fenomena demonstran bayaran sering kita jumpai. Jika merujuk kepada hikayat-hikayat tentang raja-raja agung jaman dahulu, mereka tak segan keluar istana, menyamar sebagai jelata, melepaskan diri sejenak dari ke-raja-annya, berkeliling ke pelosok-pelosok untuk mendengarkan suara rakyat yang asli, jujur untuk mengukur tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinannya. Tentu tidak lantas di jaman sekarang melakukan hal sama, tetapi paling tidak pola-pola pendekatan jujur tanpa protokoler dan upacara penyambutan yang gegap gempita bisa dilakukan.

Disisi lain rakyat yang dititipi "suara tuhan" pun setali tiga uang. Banyak yang lupa bahwa mereka dititipi "suara tuhan". Lebih cilaka lagi "suara tuhan" mereka materialkan, dijual dengan beberapa puluh ribu rupiah, atau justru dipertaruhkan di medan judi. Pada momen pilkades contohmya sudah umum kita mendengar istilah lek-lekan, ngapit, nglimolasi diobrolkan di warung-warung kopi. Dan trik judi tak jarang menjadi senjata ampuh untuk memenangkan pertarungan. Visi misi, track record calon menjadi hal yang tak penting lagi. Tak pelak biaya politik menjadi begitu tinggi dan tak jarang sulit diterima akal. Bagaimana mungkin untuk jabatan kepala desa saja berani mengeluarkan biaya ratusan juta rupiah.

Kalau mau jujur, budaya politik seperti inilah yang menjadi pemicu lingkaran setan persoalan. Out-put proses politik yang asal-asalan, desakralisasi jabatan publik yang berimbas kepada menurunnya ketaktaatan rakyat, ketakpercayaan kepada proses politik merebak dimana-mana sehingga pasca pemilihan seringkali terjadi kerusuhan. Nyamankah kita sebenarnya dengan situasi ini?, atau jangan-jangan kita semua tengah menikmatinya?

Sehingga vox populi masihkah vox dei???

Tau ahh!!! Gelap

Juli 2013.

Bambang Hermawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun