Editor : Herawati R
Masyarakat Bugis, sebagai salah satu suku terbesar di Sulawesi Selatan, memiliki kekayaan budaya yang meliputi bahasa dan sastra yang unik. Namun, dalam era globalisasi dan dominasi bahasa Indonesia, terdapat beberapa problematika yang dihadapi oleh masyarakat Bugis terkait penggunaan bahasa, media, dan sastra.
Salah satu isu utama adalah interferensi bahasa yang terjadi ketika penutur bahasa Bugis berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Penelitian menunjukkan bahwa banyak penutur cenderung menggunakan kosakata atau struktur kalimat dari bahasa Bugis saat berbicara dalam bahasa Indonesia. Hal ini menyebabkan munculnya variasi dalam pengucapan dan penggunaan kata-kata yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang baku. Misalnya, siswa di sekolah sering menyisipkan unsur bahasa Bugis dalam kalimat bahasa Indonesia mereka, seperti dalam ungkapan "Tabe kaki ta, saya mau lewat" yang mencerminkan kebiasaan berbahasa yang tidak formal.
Selain itu, ada pergeseran makna yang terjadi akibat perbedaan konsep antara kedua bahasa. Fenomena ini dapat memengaruhi pemahaman makna kata-kata tertentu dalam konteks komunikasi sehari-hari. Misalnya, istilah-istilah dalam bahasa Bugis mungkin tidak memiliki padanan langsung dalam bahasa Indonesia, sehingga menyebabkan kesalahpahaman.  Hal ini menunjukkan pentingnya pemahaman konteks budaya saat menggunakan kedua bahasa.
Dari segi sastra, masyarakat Bugis memiliki warisan sastra yang kaya seperti Lagaligo dan Naskah Lontarak, yang merupakan bagian dari identitas budaya mereka. Namun, dengan semakin dominannya bahasa Indonesia, ada tantangan besar dalam melestarikan karya-karya sastra ini. Upaya untuk mengkaji dan mempertahankan karya sastra lokal sangat penting sebagai media pelestarian kearifan lokal dan pengembangan karakter generasi muda
Media juga memainkan peran penting dalam memperkuat identitas budaya masyarakat Bugis. Penggunaan media lokal untuk mempromosikan bahasa dan sastra Bugis dapat membantu meningkatkan kesadaran akan pentingnya melestarikan budaya lokal. Namun, seringkali media lebih fokus pada konten berbahasa Indonesia, sehingga mengabaikan potensi besar dari konten berbahasa daerah.
Dengan demikian, problematika bahasa, media, dan sastra di masyarakat Bugis mencerminkan tantangan yang kompleks dalam mempertahankan identitas budaya di tengah pengaruh globalisasi. Penting untuk melakukan upaya kolaboratif antara pemerintah, pendidik, dan masyarakat untuk menjaga keberlangsungan penggunaan bahasa Bugis serta melestarikan karya sastra mereka. Melalui pendidikan yang baik dan dukungan media lokal, diharapkan masyarakat Bugis dapat terus melestarikan warisan budayanya sambil tetap beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H