Menakar Pengeluaran Middle Class, Agar Tak Terjebak Life Style Berujung Kebangkrutan Financial
Golongan ekonomi kelas menengah tentu saja tak menerima sejumlah bantuan yang digulirkan oleh pemerintah, lantaran dikategorikan golongan mampu. Sehingga apa-apa sedianya diupayakan sendiri, demi kelangsungan hidup guna pemenuhan sandang, pangan serta papan.
Sangat kontras dengan mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, yang mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT). Oleh sebab digolongkan sebagai golongan yang tidak mampu, yakni ekonomi cendurung kekurangan dan jauh dari kecukupan.
Lantaran ditenggarai hal tersebut maka pemerintah, memberikan bantuan guna sedikit meringankan beban hidup. Selain bantuan BLT pemerintah juga memberikan bantuan pangan berupa beras, membidik golongan yang tidak mampu dengan kategori ekonomi lemah.
Mereka-mereka yang hidup di tingkat ekonomi menengah bukan mustahil untuk naik level menjadi kaya raya ataupun bahkan sebaliknya turun derajat/kasta, mengapa demikian semua terpulang kembali ke lifestyle dan managemen finansial. Di mana tak serampangan berkenaan dengan pembelanjaan.
Mengingat gaya hidup hedonis yang cenderung menjangkiti, sehingga banyak orang yang memperturutkan syahwat belanja dengan membeli sesuatu yang tak perlu dan tak menjadi kebutuhan skala prioritas melainkan sebagai symbol status sosial.
Alhasil dapat membuat seseorang terlilit hutang piutang, belum lagi tergiur maraknya investasi bodong. Dengan diiming-imingi income yang fantastis jumlahnya. Hanya sekedar menggelontorkan rupiah dan tinggal ongkang-ongkang kaki, lantas berharap keuntungan signifikan di luar nalar/logika yang mana sangat berbeda jauh dengan perhitungan suku bunga perbankan.
Hidup senantiasa melihat ke atas dari segi nikmatnya memiliki privilage, ingin disetarakan dengan golongan kelas atas (High Class), cenderung memaksakan diri padahal belum sampai pada titik puncak (Top) masih menengah (Middle) dan kalaupun memiliki materi namun tak banyak lebih.
Nasib kelas menengah tak seperti mereka yang benar-benar telah mapan dan kuat dalam hal perekonomian, dan memiliki pemasukan pundi-pundi rupiah yang banyak terkait pengembangan sayap-sayap usahanya. Dan tergolong pengusaha sukses lagi papan atas.
Yang untuk membeli sesuatu barang tak perlu menimbang perihal harga, dan tanpa pikir panjang seberapapun mahal barang-barang branded asalkan disukai alih-alih dengan mudahnya dapat berpindah tangan.
Lain perkaranya dengan ekonomi menengah jika mengikuti gaya hidup, alhasil bukannya peningkatan ekonomi yang didapat serta bertambahnya aset, malah lambat laun meniadakan aset berharga. Ambruknya pondasi ekonomi keluarga, karena dipicu lifestyle. Aset tergadai bahkan terjual. Sungguh ironis.
Sebab untuk merintis atau membangun suatu usaha hingga ternama itu tidaklah mudah, tak jarang berdarah-darah. Butuh kerja keras, perjuangan panjang, pengorbanan terkait materi ataupun waktu demi mencapai sejahtera.
Ada kalanya waktu yang sempit dan teramat sedikit untuk keluarga, karena terlampau fokus dan konsisten, meramu formula agar sedianya memajukan usaha, sampai berkembang pesat dan lamat-lamat menunjukan progress.
Bukan mustahil kebangkrutan dapat saja terjadi dan jurang-jurang kebangkrutan tepat berada di depan mata, lantaran kian susutnya materi. Berbeda halnya dengan mereka yang dapat mengelola usahnya dengan bijak dalam pengeluaran, dan terus inject modal demi perluasan usaha serta menambahan unit-unit usaha.
Namun adakala juga tak dapat dipungkiri, nasib kelas menengah itu mengalami pukulan telak dalam bisnisnya. Tersandung hambatan pun kendala terlebih mengalami pasang surut perekonomian, di tengah iklim usaha yang tak menentu dan dalam ketidakpastian terkait pangsa pasar yang didapati terkadang sukar diprediksi.
Terkadang nasib kelas menengah pun, membutuhkan bantuan terkait dana segar, diberikan akses kemudahan guna peminjaman modal usaha pada perbankan. Sebab merekalah orang-orang yang berdikari. Mengupayakan segala sesuatunya sendiri.
Tak jarang mereka mengalami jatuh bangun di tengah pendirian usaha, bahkan ada yang sampai terjerembab ke dalam titik nadir kebangkrutan lantaran persaingan usaha yang tak sehat misalnya. Sudah selayaknya mereka pun mendapat bantuan, agar dapat kembali memulai bisnis.
Yang sejatinya dapat berdaya serta sanggup mensejahterakan segenap anggota keluarga, kembali hidup layak bukan sekedar berkecukupan namun juga berkelebihan memakmurkan keluarga. Dapat membuka lapangan kerja, memberdayakan para pengangguran sehingga memiliki penghasilan.
Hera Veronica Suherman
Jakarta, 03/03/2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H