Pengangguran dan Hidup yang Tak Bisa Diajak Kompromi
Ada banyak pengangguran di Ibu Kota, dari pengangguran pendidikan hanya tamatan SD sampai dengan jenjang S1 (Strata 1).
Lantaran sulitnya lapangan kerja. Banyak perusahaan besar yang gulung tikar, serta kian ketatnya daya saing yang sesuai qualifiying guna mendapat kesempatan kerja.
Namun herannya justeru mereka yang tak menamatkan bangku sekolah yang, bergiat disektor-sektor informal. Dengan melakukan serangkaian kegiatan usaha yang tidak stuck nan.
Dibacanya peluang usaha meski masih meraba-raba, diibidiknya peluang usaha meski skala kecil. Diliriknya pangsa pasar dengan amunisi modal seadanya. Dicermati serta ditelaahnya proses yang tak semudah menyeduh mie instant.
Mereka-mereka yang notabene tak terserap lapangan kerja, serta yang harapan terpenggal lantaran rendah tingkat pendidikan. Mampu Berdikari berdiri di atas kakinya sendiri.
Menopang ekonomi dengan membuka gerai-gerai usaha, stand-stand meja penjaja serta gerobak-gerobak dorongnya. Lantaran sadar hidup tak harus berpangku tangan, harapkan lapangan kerja yang serasa jauh panggang dari api.
Harapkan pintu-pintu perusahaan terbuka lebar dan sudi menerima, serta memasuki dan menduduki lowongan-lowongan kerja yang ada. Rasanya seperti mimpi di tengah hari terik.
Untuk itu mereka bergiat usaha dan kembangkan usaha, tak kenal gengsi-gengsian. Sebab hidup tak kenyang makan gengsi tapi makan nasi.
Karenanya mereka menyebar dengan penuh sabar, mencari rezeki seperti orang tengah memancing di sungai atau pun di lautan. Melempar umpan sekian waktu menunggu lantas tak ayal umpan dimakan.
Ada banyak barisan pelamar kerja, menunggu panggilan kerja. Menunggu gaji sesuai yang dikehendaki, menunggu dan tak jemu menunggu. Sedang tuntutan hidup tak bisa diajak kompromi.